Teori Kepribadian Abraham Maslow
Maslow dilahirkan pada
tahun 1908 di Brooklyn, New York. Dia
anak sulung dari tujuh bersaudara. Pada waktu itu Maslow berusia 14 tahun,
orang tuanya berimigrasi dari Rusia menuju Amerika Serikat. Dalam perjalanan
hidupnya, Maslow berkembang dalam iklim keluarga yang kurang menyenangkan. Dia
merasa bahagia dan terisolasi, karena orang tuanya tidak memberikan kash
sayang, ayahnya bersikap dingin dan tidak akrab, dan sering tidak ada di rumah
dalam waktu yang cukup lama. Ibunya seorang yang sangat dipercaya akan
takhayul, yang sering mengkuhum Maslow gara-gara salah kecil saja. Dia
membenci, menolak dan lebih mencintai saudaranya daripada mencintai Maslow.
Pada suatu hari, Maslow
membawa dua anak kucing yang tersesat, ibunya membunuh kedua kucing tersebut,
kemudian ibunya menampar dan membenturkan kepala Maslow ke tembok. Perlakuan
ibunya kepada Maslow memberikan dampak yang serius bagi dirinya, tidak hanya
kepada kehidupan emosionalnya, tetapi juga pada pekerjaannya dalam psikologi.
- Hirarki Kebutuhan
Maslow berpendapat
bahwa motivasi manusia diorganisasikan ke dalam sebuah hirarki kebutuhan, yaitu
suatu susunan kebutuhn yang sistematis, suatu kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi sebelum kebutuhan dasar lainnya muncul. Kebutuhan ini bersifat
instinktif yang mengaktifkan atau mengarahkan perilaku manusia. Meskipun kebutuhan
itu bersifat instinktif, namun perilaku yang digunakan untuk memuaskan
kebutuhan tersebut sifatnya dipelajari, sehingga terjadi variasi perilaku dari
setiap orang dalam cara memuaskannya. Kebutuhan itu mempunyai beberapa
karakteristik sebagai berikut.
1)
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan ini merupakan
kebutuhan manusia yang paling dasra, kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya
secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman , seks, istirahat (tidur),
dan oksigen. Maslow mengemukakan bahwa manusia adalah binatang yang berhasrat
dan jarang mencapai taraf kepuasan yang sempurna, kecuali untuk suatu saat yang
terbatas. Apabila suatu hasrat itu telah terpuaskan, maka hasrat lain muncul
sebagai pengggantinya.
2)
Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang, baik anak, remaja, maupun
dewasa. Pada anak kebutuhan akan rasa aman ini nampak dengan jelas, sebab
mereka suka mereaksi secara langsung terhadap sesuatu yang mengancam dirinya.
Agar kebutuhan anak akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim
kehidupan yang memberi kebebasan untuk berekspresi. Namun pemberian kebebasan
untuk berekspresi atau berperilaku itu perlu bimbngan dari orang tua, karena
anak belum memiliki kemampuan untuk mengarahkan perilakunya secara tepat dan
benar. Pada orang dewasa, kebutuhan ini memotivasinya untuk mrncari kerja,
menjadi peserta asuransi, atau menabung uang. Orang dewasa yang sehat
mentalnya, ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut dan cemas.
Sementara yang tidak sehat ditandai dengan perasaan seolah-olah selalu dalam
keadaan terancam bencana besar.
3)
Kebutuhan Pengakuan dan Kasih Sayang
Apabila kebutuhan fisiologis dan rasa aman sudah terpenuhi, maka individu
mengembangkan kebutuhan untuk diakui dan disayangi atau dicintai. Kebutuhan ini
dapat diekspresikan dalam berbagai cara, seperti: persahabatan, percintaan,
atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari
pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orang lain, baik dari orang tua,
saudara, guru, pimpinan, teman, atau orang dewasa lainnya.
Kebutuhan untuk diakui lebih sulit untuk dipuaskan pada suasana masyarakat
yang mobilisasinya sangat cepat, terutama di kota besar, yang gaya hidupnya
sudah bersifat individualistik. Hidup bertetangga, aktif di organisasi, atau
persahabatn dapat memberikan kepuasan akan kebutuhan ini.
Kebutuhan kan kasih sayang, atau mencintai dan dicintai dapat dipuaskan
melalui hubungan yang akrab dengan orang lain. Maslow membedakan antara cinta
dengan seks, meskipundiakuinya bahwa seks merupakan salah satu cara pernyataan
kebutuhan cinta. Dia sepentapat dengan Rogers yaitu: keadaan dimengerti secara
mendalan dan diterima dengan sepenuh hati. Maslow berpendapat bahwa kegagalan
dalam mencapai kepuasan kebutuhan cinta atau kasih sayang merupakan penyebab
utama dari gangguan emosional atau maladjustment.
4)
Kebutuhan Pengahrgaan
Jika seseorang telah
merasa dicintai atau diakui, maka orang itu akan mengembangkan kebutuhan
perasaan berharga. Kebutuhan ini meliputi dua kategori, yaitu: (a) harga diri
meliputi kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi, dan kebebasan; (b)
penghargaan dari orang lain meliputi pengakuan, perhatian, prestise, respek,
dan kedudukan (status). Memperoleh
kepuasan dari kebutuhan ini memunhkinkan individu memiliki rasa perccaya diri
akan kemampuan dan penampilannya; menjadi lebih kompeten; dan produktif dalam
semua aspek kehidupan. Sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan dalam
memperoleh kepuasan atau mengalami lack
of self-esteem maka dia akan mengalami rendah diri,tidak berdaya, tidak
bersemangat, dan kurang percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengetasi
masalah kehidupan yang dihadapinya.
5)
Kebutuhan Kognitif
Secara alamiah manusia
memiliki hasrat ingin tahu (memperoleh pengetahuan, atau pengalaman tentang
sesuatu). Hasrat ini mulai berkembang sejak akhir usia bayi dan awal masa anak,
yang diekspresikan sebagai rasa ingin tahunya dalam bentuk pengajuan pertanyaan
tentang berbagai hal, baik diri maupun lingkungannya. Rasa ingin tahu ini
biasanya terhambat perkembangannya oleh lingkungan, baik kkeluarga maupun
sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan menghambat pencapaian
perkembangan kepribadian secara penuh. Menurut Maslow, rasa ingin tahu ini
merupakan cirri mental yang sehat. Kebutuhan kognitif ini diekspresikan sebagai
kebutuhan untuk memahami, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, mencari
sesuatu atau suasana baru dan meneliti.
6)
Kebutuhan Estetika
Kebutuhan estetik (order and beauty) merupakan cirri orang
yang sehat mentalnya. Melalui kebutuhan inilah manusia dapat mengembangkan
kretivitasnya dalam bidang seni (lukis, rupa, patung, dan grafis), arsitektur,
tata busana, dan tata rias. Di samping itu orang yng sehat mentalnya ditandai
dengan kebutuhan keteraturan, keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek
kehidupannya, seperti dalam cara berpakaian (rapi dengan keterpaduan warna yang
serasi), dan pemeliharaan ketertiban lalu lintas. Orang yang kurang sehat
mentalnya, atau sedang mengalami gangguan emosional, dan stress biasanya kurang
memeperhatikan kebersihan, dan kurang apresiatif terhadap keteraturan dan
keindahan.
7)
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupakan
puncak dari hirarki kebutuhan manusia yaitu perkembangan atau perwujudan
potensi dan kapasitas secara penuh. Maslow berpendapat bahwa manusia dimotivasi
untuk menjadi segala sesuatu yang dia mampu untuk menjadi itu. Walaupun
kebutuhan lainnya terpenuhi, namun apabila kebutuhan katualisasi diri tidak
terpenuhi, tidak mengembangkan atau tidak mampu menggunakan kemampuan bawaannya
secara penuh, maka seseorang akan mengalami kegelisahan, ketidaktenangan, atau
frustasi.
- Kepribadian yang Sehat
Maslow berpendapat
bahea seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat, apabila dia telah mampu
untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai
dirinya secara penuh (self-actualizing
person). Dia mengemukakan teori motivasi bagi self-actualizing person dengan nama metemotivation, meta-needs, B-motivation, atau being values (kebutuhan untuk berkembang).
Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya tidak termotivasi untuk
mengejar sesuatu (tujuan) yang khusus, mereduksi ketenangan, atau memuaskan
suatu kekurangan. Mereka secara menyeluruh tujuannya akan memperkaya,
memperluas kehidupannya dan mengurangi keterangan melalui bermacam-macam
pengalaman yang menantang. Dia berusaha untuk mengembangkan potensinya secara
maksimal, dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada dalam
keadaan menjadi yaitu spontan, alami,
dan senang mengekspresikan potensinya secara penuh.
Sementara motivasi bagi
orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia dinamai D-motivation atau Deficiency. Tipe motivasi ini cenderung mengejar hal yang khusus
untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya, seperti mencari makanan untuk memenuhi
rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus
(makanan) menghasilkan motivasi untuk memperoleh sesuatu yang dirasakannya
kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan fisiologis,
tetapi juga rasa aman, cinta kasih, dan penghargaan.
Terkait dengan metaneeds, Maslow selanjutnya mengatakan
bahwa kegagaln dalam memuaskannya akan berdampak kurang baik bagi individu,
sebab dapat menggagalkan pemuasan kebutuhan yang lainnya, dan juga melahirkan
metapatologi yang dapat merintangi perkembangannya. Metapatologi merintangi self-actualizers untuk mengekspresikan,
menggunakan, memenuhi potensinya, merasa tidak berdaya, dan depresi. Individu
tidak mampu mengidentifikasi sumber penyebab khusus dari masalah yang
dihadapinya dan usaha untuk mengatasinya.
Mengenai self-actualizing person, atau orang yang
sehat mentalnya, Maslow mengemukakan cirri-cirinya sebagai berikut.
1)
Mempersepsi kehidupan atau dunianya sebagaimana apa adanya, dan merasa nyaman
dalam menjalaninya.
2)
Menerima dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya.
3)
Bersikap mandiri atau independent.
4)
Memiliki apresiasi yang segar terhadap linkungan di sekitarnya.
5) Memiliki minat social: simpati, empati,
dan altruis.
6) Bersikap demokratis (toleran, tidak
rasialis, dan terbuka).
7) Kreatif (fleksibel, spontan, terbuka, dan
tidak takut salah).
Pandangannya terhadap hakikat manusia, Maslow berpendapat bahwa manusia itu
bersifat optimistik, bebas berkahendak, sadar dalam memilih, unik, dapat
mengatasi pengalaman masa kecil, dan baik. Menurut dia, kepribadian itu
dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan peran lingkungan, khususnya sekolah dalam
mengembangkan self-actualization,
Maslow mengemukakan beberapa upaya yang seyogianya dilakukan oleh sekolah
(dalam hal ini guru-guru) yaitu sebagai berikut.
1) Membantu siswa dalam menemukan
identitasnya (jati dirinya) sendiri.
2) Membantu siswa untuk mengeksplorasi
pekerjaan.
3) Membantu siswa untuk memahami keterbatasan
(nasib) dirinya.
4) Membantu siswa untuk meperoleh pemahaman
tentang nilai-nilai.
5)
Membantu siswa agar memahami bahwa hidup ini berharga.
6)
Mendorong siswa agar mencapai pengalaman puncak dalam kehidupannya.
7)
Memfasilitasi siswa agar dapat memuaskan kebutuhan dasarnya (rasa aman, rasa
berharga, dan rasa diakui).
LAHIRNYA BK POLA
17 PLUS
Sejak tahun 1993
penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) memperoleh
perbendaharaan istilah baru yaitu BK Pola-17. Hal ini memberi warna tersendiri
bagi arah bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung BK di jajaran pendidikan
dasar dan menengah. Pada Abad ke-21, BK Pola 17 itu berkembang menjadiBK
Pola-17 Plus. Kegiatan BK ini mengacu pada sasaran pelayanan yang lebih luas,
diantaranya mencakup semua masyarakat.
Layanan konsultasi merupakan salah satu jenis layanan dari BK Pola-17 Plus. Layanan konsultasi dan layanan mediasi merupakan layanan hasil pengembangan dari BK Pola 17 Plus. Dengan adanya pengembangan layanan ini, maka layanan konsultasi dan layanan mediasi secara otomatis menjadi bidang tugas konselor dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling, khususnya pelayanan BK di sekolah.
Menurut Prayitno (2004: i-ii) butir-butir pokok BK Pola-17 Plus adalah sebagai berikut:
A. Keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas, serta landasan BK
B. Bidang Pelayanan BK, meliputi:
B.1. Bidang pengembangan pribadi
B.2. Bidang pengembangan social
B.3. Bidang pengembangan kegiatan belajar
B.4. Bidang pengembangan karir
B.5. Bidang pengembangan kehidupan berkarya
B.6. Bidang pengembangan kehidupan keberagamaan
Layanan konsultasi merupakan salah satu jenis layanan dari BK Pola-17 Plus. Layanan konsultasi dan layanan mediasi merupakan layanan hasil pengembangan dari BK Pola 17 Plus. Dengan adanya pengembangan layanan ini, maka layanan konsultasi dan layanan mediasi secara otomatis menjadi bidang tugas konselor dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling, khususnya pelayanan BK di sekolah.
Menurut Prayitno (2004: i-ii) butir-butir pokok BK Pola-17 Plus adalah sebagai berikut:
A. Keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas, serta landasan BK
B. Bidang Pelayanan BK, meliputi:
B.1. Bidang pengembangan pribadi
B.2. Bidang pengembangan social
B.3. Bidang pengembangan kegiatan belajar
B.4. Bidang pengembangan karir
B.5. Bidang pengembangan kehidupan berkarya
B.6. Bidang pengembangan kehidupan keberagamaan
C. Jenis layanan
BK, meliputi:
L.1. Layanan Orientasi
L.2. Layanan Informasi
L.3. Layanan Penempatan dan Penyaluran
L.4. Layanan Penguasaan Konten
L.5. Layanan Konseling Perorangan
L.6. Layanan Bimbingan Kelompok
L.7. Layanan Konseling Kelompok
L.8. Layanan Konsultasi
L.9. Layanan Mediasi
L.1. Layanan Orientasi
L.2. Layanan Informasi
L.3. Layanan Penempatan dan Penyaluran
L.4. Layanan Penguasaan Konten
L.5. Layanan Konseling Perorangan
L.6. Layanan Bimbingan Kelompok
L.7. Layanan Konseling Kelompok
L.8. Layanan Konsultasi
L.9. Layanan Mediasi
D. Kegiatan
pendukung BK, meliputi:
P.1. Aplikasi Instrumentasi
P.2. Himpunan Data
P.3. Konferensi Kasus
P.4. Kunjungan Rumah
P.5. Alih Tangan Kasus
P.1. Aplikasi Instrumentasi
P.2. Himpunan Data
P.3. Konferensi Kasus
P.4. Kunjungan Rumah
P.5. Alih Tangan Kasus
E. Format
pelayanan:
1. Format Individual
2. Format Kelompok
3. Format Klasikal
4. Format Lapangan
5. Format ”Politik”
1. Format Individual
2. Format Kelompok
3. Format Klasikal
4. Format Lapangan
5. Format ”Politik”
Selain itu ada
juga yang menambahkan pola 17 plus adalah sebagai berikut:
BK Pola 17 Plus
• Bidang: Pribadi, Sosial, Belajar, Karir, Kehidupan keluarga, Kehidupan beragama
• 7 jenis layanan: Orientasi, Informasi, Pencapaian penyaluran, Penguasaan konten, Konseling kelompok, Bimbingan kelompok, Konseling individual, Konsultasi, Mediasi
• Daya dukung: Instrumen, Himpunan data, Tampilan kepustakaan, Referal / Alih Tangan, Home Visit, Konfrensi kasus
BK Pola 17 Plus
• Bidang: Pribadi, Sosial, Belajar, Karir, Kehidupan keluarga, Kehidupan beragama
• 7 jenis layanan: Orientasi, Informasi, Pencapaian penyaluran, Penguasaan konten, Konseling kelompok, Bimbingan kelompok, Konseling individual, Konsultasi, Mediasi
• Daya dukung: Instrumen, Himpunan data, Tampilan kepustakaan, Referal / Alih Tangan, Home Visit, Konfrensi kasus
Melihat uraian
tentang BK Pola-17 Plus, pada penelitian ini hanya membatasi sesuai dengan
judul penelitian. Peneliti hanya menguraikan salah satu jenis layanan BK yaitu
layanan konsultasi.
Layanan Konsultasi
BK
Menurut Prayitno (2004: 1), ”layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor terhadap pelanggan (konsulti) yang memungkinkan konsulti memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan untuk menangani masalah pihak ketiga”. Konsultasi pada dasarnya dilaksanakan secara perorangan dalam format tatap muka antara konselor (sebagai konsultan) dengan konsulti. Konsultasi dapat juga dilakukan terhadap dua orang konsulti atau lebih kalau konsulti- konsulti itu menghendakinya.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 6) dijelaskan bahwa ”layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik”.
Dalam program bimbingan di sekolah, Brow dkk (dalam Marsudi, 2003: 124) menegaskan bahwa ’konsultasi itu bukan konseling atau psikoterapi sebab konsultasi tidak merupakan layanan yang langsung ditujukan kepada siswa (klien), tetapi secara tidak langsung melayani siswa melalui bantuan yang diberikan oleh orang lain’.
Layanan konsultasi juga didefinisikan bantuan dari konselor ke klien dimana konselor sebagai konsultan dan klien sebagai konsulti, membahas tentang masalah pihak ketiga. Pihak ketiga yang dibicarakan adalah orang yang merasa dipertanggungjawabkan konsulti, misalnya anak, murid atau orangtuanya. Bantuan yang diberikan untuk memandirikan konsulti sehingga ia mampu menghadapi pihak ketiga yang dipermasalahkannya (http://konseling indonesia.com).
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan penulis bahwa layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti, dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.
Menurut Prayitno (2004: 1), ”layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor terhadap pelanggan (konsulti) yang memungkinkan konsulti memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan untuk menangani masalah pihak ketiga”. Konsultasi pada dasarnya dilaksanakan secara perorangan dalam format tatap muka antara konselor (sebagai konsultan) dengan konsulti. Konsultasi dapat juga dilakukan terhadap dua orang konsulti atau lebih kalau konsulti- konsulti itu menghendakinya.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 6) dijelaskan bahwa ”layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik”.
Dalam program bimbingan di sekolah, Brow dkk (dalam Marsudi, 2003: 124) menegaskan bahwa ’konsultasi itu bukan konseling atau psikoterapi sebab konsultasi tidak merupakan layanan yang langsung ditujukan kepada siswa (klien), tetapi secara tidak langsung melayani siswa melalui bantuan yang diberikan oleh orang lain’.
Layanan konsultasi juga didefinisikan bantuan dari konselor ke klien dimana konselor sebagai konsultan dan klien sebagai konsulti, membahas tentang masalah pihak ketiga. Pihak ketiga yang dibicarakan adalah orang yang merasa dipertanggungjawabkan konsulti, misalnya anak, murid atau orangtuanya. Bantuan yang diberikan untuk memandirikan konsulti sehingga ia mampu menghadapi pihak ketiga yang dipermasalahkannya (http://konseling indonesia.com).
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan penulis bahwa layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti, dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.
Komponen Layanan
Konsultasi BK
Dari definisi layanan konsultasi, dijelaskan bahwa dalam proses konsultasi akan melibatkan tiga pihak, yaitu konselor, konsulti, dan pihak ketiga/konseli. Hal ini seperti pendapat Dougherty (dalam Sciarra, 2004: 55) ’consulting is tripartite: it involves a consultant, a consultee, and a client’ (Berkonsultasi meliputi tiga pihak yaitu melibatkan seorang konsultan, konsulti, dan konseli). Ketiga pihak ini disebut sebagai komponen layanan konsultasi. Ketiga komponen layanan konsultasi tersebut menjadi syarat untuk menyelenggarakan kegiatan layanan. Dijelaskan oleh Prayitno (2004: 3-4), bahwa:Konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya. Sesuai dengan keahliannya, konselor melakukan berbagai jenis layanan konseling, salah satu diantaranya adalah layanan konsultasi; Konsulti adalah individu yang meminta bantuan kepada konselor agar dirinya mampu menangani kondisi dan atau permasalahan pihak ketiga yang (setidak-tidaknya sebahagian) menjadi tanggung jawabnya. Bantuan itu diminta dari konselor karena konsulti belum mampu menangani situasi dan atau permasalahan pihak ketiga itu; Pihak ketiga adalah individu (atau individu-individu) yang kondisi dan atau permasalahannya dipersoalkan oleh konsulti. Menurut konsulti, kondisi/ permasalahan pihak ketiga itu perlu diatasi, dan konsulti merasa (setidak-tidaknya ikut) bertanggung jawab atas pengentasannya.
Marsudi (2003: 124-125) menyebutkan bahwa layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
(1) Konsultan, yaitu seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
(2) Konsulti, yaitu pribadi atau seorang profesional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
(2) Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai
masalah.
Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya
mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung, yaitu mengembangkan pada diri konsulti tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsulti mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya.
Konsulti adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga. Misalnya orang tua, guru, kepala sekolah, kakak, dan sebagainya. Seorang konsulti harus bersedia membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. Menurut Sciarra (2004: 55) “also, collaboration between consultant and consultee is especially important in the school setting because it eases the burden on the consultant” (kerjasama antara konsultan dan konsulti menjadi yang terpenting di sekolah sebab dapat meringankan beban konsultan).
Dari definisi layanan konsultasi, dijelaskan bahwa dalam proses konsultasi akan melibatkan tiga pihak, yaitu konselor, konsulti, dan pihak ketiga/konseli. Hal ini seperti pendapat Dougherty (dalam Sciarra, 2004: 55) ’consulting is tripartite: it involves a consultant, a consultee, and a client’ (Berkonsultasi meliputi tiga pihak yaitu melibatkan seorang konsultan, konsulti, dan konseli). Ketiga pihak ini disebut sebagai komponen layanan konsultasi. Ketiga komponen layanan konsultasi tersebut menjadi syarat untuk menyelenggarakan kegiatan layanan. Dijelaskan oleh Prayitno (2004: 3-4), bahwa:Konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya. Sesuai dengan keahliannya, konselor melakukan berbagai jenis layanan konseling, salah satu diantaranya adalah layanan konsultasi; Konsulti adalah individu yang meminta bantuan kepada konselor agar dirinya mampu menangani kondisi dan atau permasalahan pihak ketiga yang (setidak-tidaknya sebahagian) menjadi tanggung jawabnya. Bantuan itu diminta dari konselor karena konsulti belum mampu menangani situasi dan atau permasalahan pihak ketiga itu; Pihak ketiga adalah individu (atau individu-individu) yang kondisi dan atau permasalahannya dipersoalkan oleh konsulti. Menurut konsulti, kondisi/ permasalahan pihak ketiga itu perlu diatasi, dan konsulti merasa (setidak-tidaknya ikut) bertanggung jawab atas pengentasannya.
Marsudi (2003: 124-125) menyebutkan bahwa layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
(1) Konsultan, yaitu seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.
(2) Konsulti, yaitu pribadi atau seorang profesional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
(2) Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai
masalah.
Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya
mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung, yaitu mengembangkan pada diri konsulti tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsulti mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya.
Konsulti adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga. Misalnya orang tua, guru, kepala sekolah, kakak, dan sebagainya. Seorang konsulti harus bersedia membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. Menurut Sciarra (2004: 55) “also, collaboration between consultant and consultee is especially important in the school setting because it eases the burden on the consultant” (kerjasama antara konsultan dan konsulti menjadi yang terpenting di sekolah sebab dapat meringankan beban konsultan).
Posted by
»Sefrian®
0 comments:
Poskan Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan kalau mau bertanya, saran, atau apapun mohon lebih baik sertakan nama dan alamat email, sebaiknya jangan memakai Anonymous Users
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini
• Follow Us on Twitter!
• "Join Us on Facebook!
• RSS
Con
0 comments:
Poskan Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan kalau mau bertanya, saran, atau apapun mohon lebih baik sertakan nama dan alamat email, sebaiknya jangan memakai Anonymous Users
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini
• Follow Us on Twitter!
• "Join Us on Facebook!
• RSS
Con
MEMAHAMI
INDIVIDU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING (Kajian Lintas Budaya Hubungan
Konsleor-Konseli)
MEMAHAMI INDIVIDU DALAM BIMBINGAN
DAN KONSELING
(Kajian Lintas Budaya Hubungan
Konselor-Konseli)[1]
Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd. [2]
A. Pendahuluan
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah tindakan yang sifat
dan arahnya menuju kepada kondisi lebih baik yang membahagiakan bagi pihak yang
dilayani (konseli). Dengan kata lain, orang yang sedang dilayani memiliki
prospek untuk menjadi lebih baik, lebih bahagia.
Bimbingan dan konseling merupakan profesi yang tidak netral;
pelaksanaannya tidak murni bersifat teknis. Ada muatan
nilai, artinya dalam menjalankan tugas profesionalnya
konselor mesti mempertimbangkan faktor nilai demi keefektifan
layanan bantuannya itu. Faktor tersebut tidak saja menyangkut konseli tetapi
juga konselor, bahkan menyangkut pihak yang lebih
luas, yaitu masyarakat yang melatarbelakangi keduanya.
Peayanan bimbingan dan konseling sering disebut bantuan
psikologis, yang berarti bahwa pelaksanaan teknik-teknik bantuan untuk
pengembangan insani itu didasarkan pada konsep-konsep,
kaidah-kaidah, azas-azas, dan prosedur-prosedur psikologi. Pada latar
sekolah, pelaksanaan bimbingan dan konseling mengandung banyak segi
yang menyangkut siswa/konseli selaku pihak utama, yaitu yang menjadi
pusat perhatian dan sasaran bantuan, di samping konselor selaku
pihak "pemberi bantuan". Segi-segi itu tidak saja bersifat psikologis
tetapi juga sosiologis dan kultural
(Munandir, 1995). Sehubungan dengan hal tersebut, di sini penulis hendak
membahas perkembangan bimbingan dan konseling selaku profesi, faktor budaya
dalam pelaksanaan tugas profesi itu, dan penerapan prinsip-prinsip
penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kondisi
sosial budaya masyarakat.
Oleh karena itu memahami konseli wajib hukumnya bagi seorang
konselor sebelum, pada saat, dan sesudah proses pelayanan berlangsung. Memahami
konseli bukan sekedar nama dan identitas lainnya, tetapi dalam arti yang luas
adalah memahami seluruh latar belakang konseli termasuk budayanya.
B. Perkembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Menurut Munandir (1995), selaku profesi, bimbingan dan
konseling di Indonesia lahir di tengah-tengah profesi lain yang lebih
mapan, .... untuk ukuran Indonesia, misalnya profesi kedokteran, guru.
Pada awalnya bimbingan dan konseling di Indonesia berkembang
di sekolah. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat yang justru berkembang di
masyarakat, baru kemudian berkembang di lingkungan pendidikan sekolah. Di
Indonesia sebelum adanya layanan bimbingan yang khusus, diasumsikan bahwa tugas
bantuan kepada siswa yang mengalami masalah ini dirangkap oleh guru. Dengan
makin beratnya beban tugas mengajar guru, guru tidak lagi bisa diharapkan mampu
menangani semua urusan pendidikan, maka layanan khusus yang bertujuan memajukan
kesejahteraan jiwa siswa menjadi kebutuhan mendesak. Inilah latar belakang
kehadiran bimbingan dan konseling pada latar sekolah.
Bimbingan
dan konseling di Amerika yang dirintis oleh Frank Parson pada tahun 1908 dengan
mendirikan sebuah biro di Boston, hampir bersamaan waktunya Jesse B. Davis
menjadi school counselor di Central High School di Detroit, Ellie Weaver
di New York dan John Brewer di Harvard University. Sesuai dengan zaman itu,
yakni dimulainya gerakan bimbingan vokasional di Amerika, konsep bimbingan pada
waktu itu lebih ditekankan pada vocational guidance sebagai sarana untuk
suksesnya penyaluran jabatan, sifatnya lebih ke arah distributif dan
determinatif.
Sejak
itu bimbingan dan konseling berkembang pesat di Amerika, dan pada akhir tahun
1950-an masuk ke Indonesia. Abdulkahar (1978) menjelaskan, bahwa bimbingan dan
konseling yang teratur dan teroganisir dimulai pada tahun 1958 di SMA Teladan
Yogyakarta yang dipimpin oleh Drs. Tohari Musnamar. Ketika diadakan rapat kerja
antara SMA-SMA Teladan seluruh Indonesia di Solo yang diselenggarakan oleh Urusan
Pendidikan SMA PD dan K pada tanggal 6-13 Nopember 1961, bimbingan diterima
dengan baik dan ditetapkan pada tiap-tiap SMA Teladan di Indonesia harus
menyelenggarakan seksi khusus BP yang pada waktu itu Urusan Pendidikan SMA PD
dan K dipimpin oleh M. Hutauruk, SH. SMA-SMA Teladan sebagai percontohan
“bimbingan dan penyuluhan” yang selanjutnya disebut bimbingan dan
konseling itu ialah: SMA-B Medan, SMA-B Jakarta, SMA-C Surabaya, SMA-A
Yogyakarta, dan kemudian ditambah beberapa SMA Teladan di kota yang lain
misalnya di Kediri, di Malang, dan lain-lain.
Karena
perkembangan dan kebutuhan bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan oleh
sekolah, maka kemudian dibuka jurusan “bimbingan dan penyuluhan” di sejumlah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ---dalam tahun 1960-an masih
merupakan bagian dari universitas--- dengan tujuan mendidik tenaga bimbingan
(konselor sekolah). Waktu itu, sampai awal 1960-an, FKIP bersifat umum, hanya
mendidik calon guru bidang studi, program pendidikan baru sampai jenjang sarjana
muda, yang tiga tahun lamanya.
Dunia
pendidikan di Indonesia mengalami perubahan besar sejak pertengahan dasa warsa
60-an. Karena tuntutan pembangunan, juga karena perubahan masyarakat yang
terjadi seiring dengan pembangunan itu, maka dilakukan usaha-usaha untuk
menyerasikan pendidikan sesuai dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi.
Dalam rangka ini pada paruh pertama dasa warsa 70-an didirikan delapan “Sekolah
Pembangunan”, yang disebut PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) dan
delapan “STMP” (STM Pembangunan). Sekolah-sekolah lain berjalan menurut sistem
yang berlaku seperti biasanya, tetapi dengan kurikulum baru yaitu kurikulum
1975. Inilah untuk pertama kali bimbingan, atau lengkapnya bimbingan dan
konseling ditetapkan secara resmi sebagai bagian dari sistem kurikulum sekolah,
dari jenjang TK/SD sampai dengan SLTA, baik jenis sekolah umum maupun sekolah
kejuruan. Namun, bagaimana perkembangan sekolah pembangunan ---dan sistem
pendidikan pembangunan--- tersebut selanjutnya tidak bisa dikatakan secara
pasti. Tetapi yang nyata, PPSP dan STMP, tidak kelihatan berjalan dan tidak
disebut-sebut lagi dalam dasa warsa 80-an.
Seiring
dengan pembaharuan kurikulum, dilakukan usaha-usaha peninjauan sistem
pendidikan guru. Dalam rangka PPSPTK (Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan
Tenaga Kependidikan) tersusunlah kurikulum baru ---Kurikulum Landasan
Kompetensi--- dan berlaku untuk IKIP/LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan) secara rasional dalam tahun 1982. Termasuk yang ditinjau dan
diperbarui adalah Kurikulum Pendidikan Konselor. Di dalam sistem pendidikan
guru/tenaga pendidikan tersebut, dinyatakan pula bahwa bimbingan dan konseling
merupakan salah satu unsur kompetensi dasar keguruan. Demikianlah sehingga
mahasiswa LPTK semua jurusan/program studi mempelajari bimbingan dan konseling
sebagai mata kuliah wajib (MKDK).
Peristiwa
penting lain dalam sejarah perkembangan pendidikan dan bimbingan di Indonesia
adalah berdirinya sebuah organisasi profesi bimbingan bernama Ikatan Petugas
Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang tahun 1975 (Panitia Konvensi Nasional
Bimbingan ke-1 tanggal 17 Desember1975). Berturut-turut setelah itu berdiri
anak-anak organisasi (Divisi IPBI), yaitu IPKON (Ikatan Pendidik Konselor
Indonesia di Malang tahun 1991), IGPI (Ikatan Guru Pembimbing Indonesia di
Jakarta tahun 1992), ISKIN (Ikatan Sarjana Konseling Indonesia di Semarang
tahun 1992), dan IDPI (Ikatan Dosen Pembimbing Indonesia di Solo tahun 1994)
dengan program-program kegiatannya antara lain, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan
profesional (Konvensi, Seminar, Lokakarya) dan organisasi yang bertujuan
memajukan bimbingan dan konsleing sebagai ilmu dan profesi. IPBI dan
divisi-divisinya juga terlibat di dalam penyusunan kurikulum program bimbingan
di LPTK.
Salah
satu sumbangan penting IPBI di dunia pendidikan adalah ikut membantu keluarnya
SK Menpan Nomor 84/1993 sebagai SK Menpan Nomor 26/1989 tentang status
kepegawaian tenaga bimbingan. Dengan SK 84/1993 pekerjaan guru pembimbing
---istilah birokrasi untuk konselor sekolah--- ditegaskan sebagai pekerjaan
yang terpisah dari pekerjaan guru mata pelajaran, guru kelas, dan guru praktek.
Menurut peraturan sebelumnya, uraian tugas bimbingan dan pengajaran menjadi
satu, sehingga menimbulkan kekaburan pengertian dan kerancuan pelaksanaannya di
sekolah-sekolah.
Kurikulum
1975 (dan Kurikulum 1976 untuk Sekolah Menengah Teknologi-Kejuruan) diikuti
dengan berlakunya Kurikulum 1984 dan terakhir Kurikulum 1994. Di dalam
kurikulum-kurikulum itu bimbingan selalu disebut merupakan bagian dari sistem
kurikulum. Di dalam kurikulum 1984 bimbingan mendapat wataknya yang khusus,
yaitu bimbingan karier, khususnya untuk SMA dan sekolah kejuruan. Dengan
pergantian-pergantian kurikulum, dan dengan ketentuan-ketentuan birokrasi
berupa SK Menpan yang disebut di atas, serta peraturan-peraturan
perundang-undangan, khususnya PP Nomor 27, 28, 29 dan 30 tahun 1990, maka
kedudukan bimbingan sebagai bentuk layanan bantuan bagi kesejahteraan siswa
makin mantap, di semua jenis dan jenjang sekolah, dari jenjang Taman
Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi.
Dengan adanya perundang-undangan dan peratauran-peraturan
pemerintah tersebut di atas, dimulailah periode Bimbingan dan Konseling Pola 17
(BK Pola 17) yang disebarkan melalui para konselor dari seluruh Indonesia yang
diundang untuk mengikuti pelatihan nasional di Parung Bogor. Melalui konselor
inilah –yang kemudian ditugaskan sebagai instruktur BK di Propinsi dan
kabupaten– bimbingan dan konseling semakin eksis karena berada dalam satu
kaidah yang terpola mulai dari wawasan ke-BK-an, bidang pelayanan BK, jenis
layanan, dan kegiatan pendukung pelayanan BK.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang
gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di
Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk
menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh)
peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah.
Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen
Dikti untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan
Konseling mulai tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah
air juga tidak mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing
sekolah menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable)
untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling
setelah dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut Guru
Pembimbing.
Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan
profesionalitas anggotanya antara lain mengadakan pertemuan periodik berupa
konvensi dan kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Bandarlampung Ikatan
Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Pada tahun 2003 diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor”
dalam pasal 1 ayat (6), akan tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam
pasal-pasal berikutnya. Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut
menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”, meskipun tugas
“melakukan pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas
pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat secara
sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah
dikemukakan dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun, juga belum
ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor.
Oleh karena itu, upaya dan kerja keras ABKIN sebagai organisasi profesi pada
akhirnya membuahkan hasil dengan usulannya yang kemudian ditetapkan menjadi
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Inodnesia Nomor 27 Tahun 2008
Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK).
Peraturan Menteri tersebut di atas mengokohkan posisi
konselor di sekolah karena tugas konselor sangat jelas yaitu
berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan
memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan
kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan
dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu
pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal
dan nonformal.
Dalam pada itu makin jelas pula
kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dan nonformal (Departemen
Pendidikan Nasional. 2008) adalah:
1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam
bidang Bimbingan dan Konseling.
2. Berpendidikan profesi konselor.
Hal ini mengandung implikasi bahwa selain
Sarjana S-1 Bimbingan dan Konseling tidak memiliki kewenangan untuk menjadi
konselor di sekolah yang terikat dengan 17 kompetensi konselor yang meliputi
kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional; di mana sarjana lain tidak memiliki kompetensi
tersebut.
C. Faktor Budaya Dalam Pelaksanaan Tugas Profesi
Bimbingan dan Konseling
1.
Budaya Nasional
Budaya tidak diberi pembatasan sepenuhnya sama bagi
para ahli ilmu sosial. Agaknya, terdapat variasi-variasi maknanya
bergantung pada cabang ilmu sosial asal pembatasan itu dirumuskan.
Kluckhohn, (1962, dalam Rosyidan , 1995) membuat
batasan budaya sebagai berikut :
Budaya
terdiri dari berbagai pola tingkah-laku, eksplisit
dan implisit, dan pola tingkah-laku itu diperoleh dan dipindahkan
melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok-kelompok manusia,
termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya
terdiri dari ide-ide tradisional, terutama nilai-nilai yang melekatknya;
sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil
perbuatan, pada sisi lain, sebagai pengaruh
yang menentukan perbuatan-perbuatan selanjutnya.
Bimbingan dan konseling sebagai suatu ilmu,
mengandung dua hal pokok, yaitu yang berangkutan dengan
konsep dan implementasi konsep. Selama ini, baik pada
tingkat konsep maupun pada tingkat implementasi bimbingan dan konseling
yang kita lakukan pada dasarnya banyak menggunakan hasil pikiran dunia
Barat, tempat bimbingan dan konseling formal mulai tumbuh, sebagaimana
sudah disebutkan di atas. Sudah barang tentu, buah pikiran
yang dihasilkan itu sangat dipengaruhi oleh latar
belakang sosial, ekonomi, dan corak budaya atau nilai-nilai
masyarakat Barat. Dengan kata lain, bimbingan dan konseling sebagai ilmu
mengandung muatan nilai-nilai budaya tertentu.
Indonesia, sebagai negara dan bangsa, mempunyai corak budaya
dengan nilai-nilai yang bersifat universal dan yang bersifat unik.
Universal artinya nilai-nilai yang dijunjung
tinggi oleh segenap manusia, nilai-nilai budaya unik ialah
nilai-nilai yang khas bagi kelompok manusia –atau bangsa Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan nilai-nilai
budaya yang majemuk pula, yang selanjutnya setelah bangsa
Indonesia merdeka, berbagai nilai-nilai
majemuk itu telah diintisarikan menjadi nilai-nilai budaya nasional,
yang menjadi pandangan hidup bangsa, yaitu kesatuan lima sila dalam
Pancasila sebagai pegangan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Kegiatan pendidikan, termasuk kegiatan
bimbingan dan konseling di Indonesia, dapat dimasukkan ke
dalam kehidupan bernegara, yaitu kegiatan yang bertujuan
tidak hanya untuk mengembangkan potensi individu yang optimal
sesuai dengan minat, irama, dan kemampuan masing-masing tetapi juga
bertujuan untuk pengembangan daya manusia Indonesia yang
bermutu tinggi dan pembentukan warga negara yang tahu
dan menyadari segala hak dan kewajiban dalam negara kesatuan
Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi mengembangkan
bimbingan dan konseling di Indonesia hendaknya memasukkan unsur-unsur budaya
nasional ke dalam konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling.
2.
Budaya Daerah
Kebudayaan nasional sebagaimana diuraikan di
atas, terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah. Karena
itu hendaklah dipandang dengan wawasan integralistik atau
secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan
integralistik adalah menjadikan semua kebudayaan daerah
sebagai suatu kesatuan pandangan. Harapan itu didukung
oleh kenyataan bahwa semua kebudayaan daerah memberikan
sumbangan bagi terwujudnya kebudayaan nasional; serta mempunyai
potensi untuk berkembang sendiri. Lain dari
pada itu terdapat pula suatu asas yang menyatakan bahwa kebudayaan
nasional itu pada hakekatnya adalah puncak-puncak kebudayaan
daerah. Dengan demikian dalam lingkup yang lebih
sempit, kebudayaan daerah ini pun harus dipertimbangkan dalam
menyusun konsep-konsep dan praktek pelayanan bimbingan dan konseling di
lapangan. Sebab lingkungan daerah yang berbeda, mempunyai
nilai-nilai yang berbeda dengan lingkungan daerah yang lain.
Barnadib (1995) misalnya, mengilustrasikan
budaya Jawa dalam bimbingan dan konseling. Dengan mengutip pendapat
Sujamto, dikatakan bahwa orang Jawa itu dalam religiusitas
mempunyai tanda yang disebut momot. Yang
dimaksud tidak lain adalah sifat akomodatif,
yaitu semangat yang mau mengakui dan menghayati kebenaran sejati
dari manapun sumbernya. Berhubung dengan adanya semangat keagamaan ini,
pemahaman tentang keagamaan lebih masuk ke dalam hati dari pada ke dalam
rasio. Sesama manusia dipandang ada kesamaan batin, maka, antar sesama
saling mencari kesejukan lahir dan batin. Berhubung dengan itu pula
pergaulan antar sesama diusahakan agar terhindar dari
pendekatan-pendekatan yang bersifat doktriner
atau dogmatis.
Sifat kedamaian itu juga diusahakan berlangsung bila
terjadi proses mempengaruhi orang lain, yang diibaratkan sebagai
memancing ikan hingga berhasil tetapi diusahakan agar airnya
tidak keruh (kena iwake nanging ora buthek banyune).
Dengan demikian kedua belah pihak merasa enak dalam saling
memberi dan saling menerima.
Berhubung dalam pergaulan perlu diusahakan kedamaian
dan terhindar dari suasana tegang, lebih-lebih
sampai terjadi kekerasan, maka semua fihak diharapkan memahami dan
melaksanakan falsafah Jawa yang penulis kutip dari
berbagai sumber, sebagai referensi dalam berkomunikasi dengan orang
lain (bimbingan dan konseling pada hakekatnya adalah kegiatan
berkomunikasi dengan orang lain), yaitu sebagai berikut :
1) tanggap ing
sasmita, yaitu mengetahui dan mengerti adanya isyarat-isyarat
2) tumeka ing
rasane, yaitu sampai kepada kesadaran batin tentang
boleh tidaknya, wajar, sopan atau tidaknya, untuk
dilaksanakan
3) ewuh pakewuh, yaitu
sikap untuk mempertimbangkan dan berpikir secara matang dan mendalam apakah
perbuatan yang akan dilakukannya itu dapat berkenan bagi orang
lain.
4) lamun sira banter aja
nglancangi, lamun sira landhep aja natoni, lamun sira mandi
aja mateni, yaitu sikap pengendalian diri agar seseorang
yang mempunyai kelebihan tidak menggunakan kelebihannya itu menyengsarakan
orang lain. Tepatnya, jika kamu cepat jangan mendahuli,
jika kamu tajam jangan melukai, jika kamu sakti jangan membunuh.
Dalam budaya daerah lain juga dikenal adanya
nilai dan falsafah kehidupan sebagai pedoman hidup
masyarakat setempat, dan konselor diharapkan dapat menyerap nilai dan
falsafah itu dalam melaksanakan layanan bimbingan
dan konseling.
3.
Sifat Kodrat Manusia
Konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling
secara implisit bertolak dari pandangan mengenai sifat
kodrat manusia. Pada umumnya, pendekatan-pendekatan
konseling secara eksplisit mulai kajiannya
dengan asumsi-asumsi mengenai sifat kodrat manusia, disusun konsep-konsep
dasar bimbingan dan konseling lainnya.
Budaya nasional kita mempunyai pandangan
mengenai sifat kodrat manusia, yaitu kodrat manusia sebagai makhluk
Tuhan, makhluk pribadi, dan sekaligus makhluk sosial. Makhluk manusia itu
bersifat homogen (selaku pribadi saja) –tetapi bersifat heterogen, dia selaku
pribadi mandiri, tetapi sekaligus selaku anggota keluarganya,
anggota kelompok sosialnya, anggota kelompok acuannya, dan
anggota kelompok lainnya, dan selaku hamba Tuhan. Keberadaan
dirinya selalu bersama dengan keberadaan orang lain. Hak azasi dan kewajiban
azasi, kebebasan dan tanggung jawab tidak dapat masing-masing
berdiri dengan absolut, justru sifat absolutnya terletak pada keberadaan
dirinya bersama dengan orang-orang lain.
Menurut ajaran Pancasila, agar bangsa Indonesia
mewujudkan nilai dasar itu maka dituntut bagi setiap individu mengembangkan
sikap pengendalian diri, yaitu mewujudkan azas
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara dirinya dengan
orang lain, antara hak azasi dan kewajiban azasinya, antara kebebasan
dan tanggung jawabnya. Azas keselarasan,
keserasian dan keseimbangan ini tidak menunjuk pada satu titik yang
tetap atau statis, tetapi azas ini selalu menunjuk kepada titik
posisi dalam kondisi berubah atau dinamis.
4. Konseling Lintas Budaya
Di depan sudah kita memahami apa itu bimbingan dan
konseling, di mana pada akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menyebutnya
sebagai konseling. Penggantian istilah bimbingan menjadi konseling sebenarnya
sudah diusulkan oleh Belkin (1975, dalam Wibowo, 2002) di Amerika dengan istilah
konseling praktis, yaitu proses konsleing yang menyeluruh, yang
didasarkan atas filsafat dan kesadaran diri-sendiri yang mantap, yang
dilaksanakan dengan keterlibatan penuh teerhadap keseluruhan perkembangan
individu, yang meliputi wawancara tatap muka, kegiatan dalam suasana kelompok,
pelayanan sekolah, program pengatasan masalah, kegiatan ekstra-kurikuler,
pemberian informasi dan jabatan, dan kegiatan serta pelayanan lain yang
menunjang perkembangan dan pemenuhan kebutuhan individu sebagai orang yang
mampu berdiri sendiri. Namun demikian, di sekolah masih digunakan istilah
bimbingan dan konseling. Dalam hal ini penulis cenderung tidak membedakan
antara keduanya, pengertian konseling di dalamnya sudah mencakup bimbingan.
Munandir (2001) menjelaskan bahwa, konseling yang dijalankan
di Indonesia, termasuk di latar sekolah, pelaksanaannya didasarkan pada
teori-teori psikologi dan konseling Barat, khususnya Amerika. Di sekolah, para
konselor, yang pada umumnya lulusan lembaga pendidikan tenaga keguruan, mendapati
bahwa teori-teori konseling yang dipelajarinya waktu dalam pendidikan
prajabatan tidak cocok diterapkan begitu saja di lapangan; mereka mengalami
hambatan bahkan masalah dalam tugas profesionalnya. Ketidakcocokan dalam
penerapan ini dapat dipahami karena isi kurikulum inti pendidikan konsleor
dapat dikata sepenuhnya adalah teori-teori yang dikembangkan pada latar
Barat/Amerika sedangkan latar penerapannya adalah kebudayaan kita, kebudayaan
Timur.
Kebudayaan kita pun bukan merupakan suatu yang tunggal
melainkan majemuk. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan penduduknya
masing-masing yang menunjukkan adanya keberagaman kemasyarakatan dan
kebudayaan. Masyarakat kita yang mempunyai nilai dan kebudayaan yang berbeda
dengan Barat, bisa menjadi kendala dalam pelaksanaan konseling. Nilai-nilai
yang menyangkut hal-hal seperti hormat kepada orang tua dan menyangkut hidup
kekerabatan dan kekeluargaan, tabu, seks, keterbukaan atau pengungkapan diri (self-disclosure),
adalah beberapa contoh mengenai perbedaan tajam budaya Timur-Barat. Masalah
lain adalah bahwa di zaman informasi global ini batas-batas antarnegara, dan
Timur-Barat, ini tidak nyata lagi.
Layanan konseling, menurut sifat hakikat dan landasan
keilmuannya, adalah bantuan psikologis. Hakikat lain konsleing, yaitu ia
sebagai layanan kemanusiaan, menjadikannya layanan yang sarat dengan muatan
budaya. Di tempat asalnya yaitu Amerika, sudah sejak lama diketahui bahwa para
konselor kulit putih mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan kepada orang
kulit hitam, demikian pula dengan kelompok minoritas tertentu. Di sinilah
diperlukannya konseling lintas budaya atau konseling multi budaya,
ialah proses bantuan kemanusiaan pribadi yang memperhatikan bekerjanya factor
budaya dan bagaimana bekerjanya faktor budaya ini untuk kelancaran proses
bantuan dan untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuannya, yaitu memajukan
perkembangan kepribadian individu (Munandir, 2001).
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling)
mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih,
berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al
dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939 sebagaimana dikutip oleh
Soedarmadji, 2011). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson
tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas
dan menyeluruh.
Oleh karena itu setiap konselor hendaknya memahami hal ini,
sehingga dalam melakukan layanan konseling memperhatikan latar belakang budaya
klien yang kemungkinan besar berbeda dengan budaya konselor.
D. Penerapan Prinsip-prinsip Penyelenggaraan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling Yang Sesuai dengan Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya dapat
terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa
antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat
mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku
dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien
berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya dapat terjadi jika,
sekedar contoh, konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien
kulit hitam atau konselor orang Jawa memberikan layanan konseling pada klien
yang berasal dari Pasundan.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada
mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling
lintas budaya dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama, dan masyarakat
yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari Kudus memberikan layanan
konseling pada klien yang berasal dari Kudus pula, mereka sama-sama berasal
dari suku atau etnis Jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar
dalam berbagai hal antara orang Jawa Kudus yang berasal dari Kota dengan orang
Jawa Kudus yang berasal dari Dawe, Undaan, Jekulo dan kecamatan lain. Mungkin
konselor berasal dari Jawa Kudus Kota budaya masyarakatnya berbeda dengan klien
yang berasal dari Jawa Kudus Dawe, Undaan, dan Jekulo; demikian pula
sebaliknya.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang Jawa Kudus Kota
dan Jawa Kudus Dawe, Undaan, dan Jekulo itu sulit sekali untuk disatukan dalam
kehidupan sehari-hari. Ini dapat menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Karena masing-masing individu merupakan representasi dari masyarakatnya. Di
Kota sendiri konselor yang berhadapan dengan klien yang berasal dari etnis Cina
dan Arab, yang merupakan etnis minoritas di Kota berbeda budayanya dengan
konselor, bahkan sesama orang Jawa di Kota konselor dan klien pun berbeda pula
budayanya.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan
dengan klien yang berbeda latar belakang social budayanya. Dengan demikian,
tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994).
Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling
mencurigai, atau perasaan-perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling
mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya
sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha
untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini
dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan
untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua
proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et
all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji,
2011). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik.
Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu
yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (individual deferences).
Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling
lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk
dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas
budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam
melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa
memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselor harus
dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien
dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991 dalam Soedarmadji,
2011).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa
konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang melekat pada diri klien
sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dengan lingkungannya. Hal ini
sangat penting karena setiap klien tentu membawa budayanya sendiri-sendiri.
Klien yang berasal dari budaya Barat, tentu akan berbeda dengan klien yang
berbudaya Timur. Klien yang berbudaya Timur Jauh berbeda dengan klien yang
berasal dari Asia Tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien
tidak terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari
berbagai sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung
terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif
di dalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang
bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya
di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di
sekitarnya, secara tidak langsung dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya
yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt,
1975; Herr, 1989 Lonner & Ibrahim,1991 sebagaimana dikutip oleh
Soedarmadji, 2011).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien
sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai-nilai sendiri sesuai
dengan tugas perkembangannya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari
lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai-nilai yang
sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien dapat
menentukan sendiri nilai-nilai yang hendak dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi
nilai-nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai-nilai
atau budaya yang selama ini dikembang-kan di lingkungannya. Hal ini perlu juga
dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak
bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian
bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal
atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai-nilai ini diterima oleh semua
masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan
terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai-nilai ini
mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini dapat kita temukan pada saat
kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di
kota-kota besar seperti Kualalumpur, California, Medan, dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari adanya nilai-nilai yang berlaku
secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan
masyarakat pada umumnya semestinya membuat konselor mempunyai pandangan yang
sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan
langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas,
maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling
lintas budaya. Menurut Pedersen (1981) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya
memiliki tiga elemen yaitu:
1. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat)
klien;
2. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat)
konselor; dan
3. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pederson, Lonner dan Draguns (dalam
Carter, 1991 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011) dinyatakan bahwa
beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya
yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh
klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling,
dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya
kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang
dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa
antara konselor dan klien sudah pasti membawa budayanya sendiri-sendiri.
Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup di mana dia
berasal, dan klien membawa superangkat budaya yang dibawa dari lingkungan
dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal,
ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan
klien membawa tugas perkembangan masing-masing. Dan kita ketahui bersama bahwa
masing-masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak
sama. Konselor membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula
dengan klien, dia membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan
mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang
meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, b) variabel status seperti
pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat,
sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam
Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook
& Sedlacek, 1991 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011).
E. Simpulan dan Rekomendasi
Dari uraian makalah ini, penulis merumuskan
simpulan-simpulan sebagai berikut:
1. Konseling merupakan bantuan
yang bersifat psikologis, sosiologis dan kultural agar orang yang dilayani menjadi
lebih baik, lebih bahagia.
2. Profesi bimbingan dan
konseling yang awalnya berkembang di Amerika, kemudian berkembang di Indonesia
di latar sekolah yang mengalami pasang surut berkaiatan dengan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemerintah yang melandasi
pelaksanaannya di sekolah
3. Budaya menjadi salah satu
faktor penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
4. Konselor perlu memahami dan
menerapkan prinsip-prinsip perbedaan budaya dalam melaksanakan hubungan
profesionalnya dengan klien.
Berkaitan dengan simpulan tersebut, penulis merekomendasikan
yang dirumuskan dalam butir-butir:
1. Setiap konselor harus
memahami budaya klien yang hendak dilayani melalui kajian pustaka dan on the
spot
2. Pemahaman atas budaya klien
harus dilaksanakan dalam proses konseling sehingga setiap klien diperlakukan
sesuai dengan kondisinya yang berbeda-beda latar budayanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdulkahar. 1978. Pokok-pokok Dasar Bimbingan dan
Penyuluhan (Guidance & Counseling). Yogyakarta:
Swadaya.
Barnadib, Imam. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan
Sumbangannya Bagi Bimbingan dan Konseling. Makalah disampaikan dalam
Kongres VIII dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
tanggal 14 s/d 16 Desember 1995. Surabaya : Panitia Kongres dan Konvensi
Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia
No comments:
Post a Comment