Apakah Sastra itu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Setiap jawaban
yang diberikan tidak akan menimbulkan kepuasan penanya. Namun demikian,
jika seseorang ditanya tentang apakah ia pernah membaca karya sastra.
Jawabannya, “ya, pernah atau belum”. Atau, jika seseorang ditanya apakah
ia menyukai sastra, dengan segera pula timbul jawabannya, “ya” atau
“tidak”, sesuai dengan pengalaman keseharian hidupnya bergaul dengan
sastra. Ini berarti, secara konseptual yang ditanya tidak dapat
menjelaskan tentang “apa itu sastra”, tetapi dalam keseharian ia
mengenal “sastra sebagai suatu objek yang dihadapinya.
Dalam kehidupan keseharian pula, pada umumnya orang menyukai sastra.
Kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang
merupakan salah satu ciri khas keindahan bahasa sastra sering kali
digunakan orang dalam situasi berkomunikasi. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa terdapat kecenderungan orang ke arah bersastra.
Untuk memahami dan menikmati karya sastra diperlukan pemahaman tentang
teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang konsep sastra
sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita
ke arah pemahaman dan penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya.
Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan
manusia yang tertuang di dalam teori sastra. Sebaliknya juga, dengan
memahami fenomena kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan
memahami pula teori sastra.
Modul Teori Sastra ini merupakan pengantar bagi Anda dalam mempelajari
sastra lebih lanjut, seperti mata kuliah apresiasi dan kajian sastra
dengan segala ruang lingkupnya yang akan mengantarkan Anda ke arah
pemahaman, penikmatan, dan penghayatan terhadap karya sastra. Melalui
modul ini, secara umum diharapkan Anda dapat memahami hakikat sastra
dengan ruang lingkupnya sebagai bekal Anda dalam mempelajari apresiasi
dan kajian sastra. Untuk mencapai tujuan tersebut, di dalamnya disajikan
urutan materi berupa:
1. Ruang Lingkup Ilmu Sastra,
2. Pengertian Sastra,
3. Jenis Karya Sastra,
4. Struktur Karya Sastra,
5. Puisi,
6. Prosa,
7. Drama,
8. Pendekatan Pengkajian Sastra, serta
9. Aliran dalam Karya Sastra.
Semoga materi-materi yang di sajikan di dalam modul Teori Sastra ini
akan menambah pengetahuan dan wawasan Anda tentang sastra sebagai salah
satu disiplin ilmu humaniora yang akan memperkaya batin Anda dalam
memahami fenomena kehidupan manusia yang dituangkan di dalamnya.
Pelajarilah isi modul ini dengan saksama sehingga berguna bagi Anda
dalam melaksanakan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
Selamat Belajar, Semoga Sukses!
MODUL 1: LINGKUP ILMU SASTRA: TEORI SASTRA, SEJARAH SASTRA, DAN KRITIK SASTRA, SERTA HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA
Kegiatan Belajar 1
Ruang Lingkup Ilmu Sastra
Ilmu sastra sudah merupakan ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini
sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Aristoteles ( 384-322
SM) menulis bukunya yang berjudul Poetica yang memuat tentang teori
drama tragedi. Istilah poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun
digunakan dengan beberapa istilah lain oleh para teoretikus sastra
seperti The Study of Literatur, oleh W.H. Hudson, Theory of Literatur
Rene Wellek dan Austin Warren, Literary Scholarship Andre Lafavere,
serta Literary Knowledge (ilmu sastra) oleh A. Teeuw.
Ilmu sastra meliputi ilmu teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Ketiga disiplin ilmu tersebut saling terkait dalam pengkajian
karya sastra. Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang
memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah
sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat objektif
sedangkan kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian
sejarah sastra menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya
dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang pada zaman itu.
Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan karya sastra suatu periode
dengan periode berikutnya karena dia mewakili masa tertentu. Walaupun
teori ini mendapat kritikan yang cukup kuat dari teoretikus sejarah
sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris
dan Amerika. Namun demikian, dalam prakteknya, pada waktu seseorang
melakukan pengkajian karya sastra, antara ketiga disiplin ilmu tersebut
saling terkait.
Kegiatan Belajar 2
Pengertian Teori Sastra, Kritik Sastra, dan Sejarah Sastra
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang
prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang
membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara umum yang dimaksud dengan
teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang
menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep/ uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu
pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek
kebenarannya(diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau
gejala-gejala yang diamati tersebut.
Kritik sastra juga bagian dari ilmu sastra. Istilah lain yang digunakan
para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis
sastra, dan penelitian sastra.
Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan kemampuan mengapresiasi
sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas
karya sastra, penguasaan dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang
bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan
sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya
sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra,
puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai
suatu kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarawan sastra harus
mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya,
gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik
isi dan tematik.
Kegiatan Belajar 3
Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra
Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang
terdapat di dalam karya sastra baik konvensi bahasa yang meliputi makna,
gaya,struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema,
tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan
sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra
yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan, serta
memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan
karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra
dan sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas
karya sastra kritikus sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan
konvensi sastra yang melingkupi karya sastra.
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah
sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari
perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai
bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu
kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para
peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau
persamaan-persamaan karya sastra pada periode-periode tertentu.
Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Luxemburg, et.al. (1982). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mido, Frans. (1982). Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende, Flores: Nusa Indah 1994.
Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyitno. Sastra. (1986). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan Guntur H. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono Libertus, T. (1986). Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende, Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman. (1986). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.
Wellek & Warren A. (1986). Teori Kesusastraan (Diindonesiakan Melami Budianta).
MODUL 2: HAKIKAT SASTRA SERTA TEKS DAN KONTEKS
Kegiatan Belajar 1
Hakikat Sastra
Pengertian tentang sastra sangat beragam. Berbagai kalangan
mendefinisikan pengertian tersebut menurut versi pemahaman mereka
masing-masing. Menurut A. Teeuw, sastra dideskripsikan sebagai segala
sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulis. Sementara
itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefnisikan sastra dengan 5 buah
pengertian, dan dari ke-5 pengertian tersebut dibatasi menjadi sebuah
definisi. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret
yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Secara lebih rinci lagi,
Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat luas, yakni
mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis.
Seiring dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian
tersebut menyempit dan didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas
bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam kehidupan yang tergambar di
dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan untuk menggambarkan
kehidupan itu.
Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5
karakteristik sastra yang mesti dipahami. Pertama, pemahaman bahwa
sastra memiliki tafsiran mimesis. Artinya, sastra yang diciptakan harus
mencerminkan kenyataan. Kalau pun belum, karya sastra yang diciptakan
dituntut untuk mendekati kenyataan. Kedua, manfaat sastra. Mempelajari
sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra bagi para
penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak kita mampu
memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk
kemaslahatan manusia. Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur
fiksionalitas. Unsur fiksionalitas sendiri merupakan cerminan
kenyataan, merupakan unsur realitas yang tidak ‘terkesan’ dibuat-buat.
Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan sebuah karya seni.
Dengan adanya karakteristik sebagai karya seni ini, pada akhirnya kita
dapat membedakan mana karya yang termasuk sastra dan bukan sastra.
Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya harus
bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat.
Hal ini mengindikasikan bahwa sastra yang ditulis pada kurun waktu
tertentu memiliki tanda-tanda, yang kurang lebih sama, dengan norma,
adat, atau kebiasaan yang muncul berbarengan dengan hadirnya sebuah
karya sastra.
Kegiatan Belajar 2
Teks dan Konteks
Teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis, dan
pragmatik merupakan sebuah kesatuan, sedangkan konteks adalah fungsi
yang diacu oleh teks. Baik teks maupun konteks, keduanya senantiasa
hadir secara bersama dan tidak dapat dipisahkan.
Terdapat enam faktor yang menentukan sebuah teks. Faktor tersebut
selanjutnya disebut sebagai faktor-faktor yang berperan dalam tindak
komunikasi. Keenam faktor tersebut adalah: (1) pemancar, (2) penerima,
(3) pesan (teks itu sendiri), (4) kenyataan atau konteks yang diacu, (5)
kode, dan (6) saluran. Sementara itu, terdapat empat jenis teks, yakni:
(1) teks acuan, (2) teks ekspresif, (3) teks persuasif, dan (4)
teks-teks mengenai teks. Teks acuan dibedakan lagi menjadi tiga, yakni:
(1) teks informatif, (2) teks diakursif, dan (3) teks instruktif.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai teks harus bermuara pada
bagaimana cara menilai teks-teks sastra. Memang, ilmu sastra tidak
memberikan penilaian pada teks, tidak menghakimi baik-buruknya teks,
tetapi ia bersama para ahli estetika dan juga kritikus sastra,
mempelajari fakta dan relasi-relasi atau instrumen-instrumen yang
diungkapkan dalam sebuah penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
Alha Pangeran. (1998). BMP Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika.
Depdiknas.(2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Semi, M. Atar. (1988). Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sumardjo, Jakob dan Saini, K.M. (1991). Apresiasi Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henry Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tohari, Ahmad. (1991). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
—————–(1994). Bekibar Merah. Jakarta: Gramedia.
——————(1992). Senyum Karyamin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta.
MODUL 3: JENIS-JENIS (GENRE) SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan,
menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna
realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang
semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra
imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun
sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu
penting dalam sastra imajinatif.
Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan
drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi
lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga
genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet
(novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita
melalui dialog-dialog para tokohnya
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus
bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif
tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang
dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar
hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
Kegiatan Belajar 2
Sastra Non-imajinatif
Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya
dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan
dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur
faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang
digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif,
kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki
pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif,
keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance =
keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat
penekanan suatu unsur). Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan
sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya
dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif. Dalam
prakteknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang
berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian,
dan surat-surat.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. (2000). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hartoko, Dick. (1986). Pengantar Ilmu Sastra. (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Rosidi, Ajip. (1977). Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Pustaka.
Sumarjo, Jakob dan Saini, K. M. (1991). Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia.
Tarigan, Henri Guntur. (1986). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. (1987). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Dasar-dasar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
MODUL 4: STRUKTUR PEMBANGUNAN KARYA SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Puisi
Sebuah karya sastra mengandung unsur intrinsik serta unsur
ekstrinsik. Keterikatan yang erat antarunsur tersebut dinamakan struktur
pembangun karya sastra.
Unsur intrinsik ialah unsur yang secara langsung membangun cerita dari
dalam karya itu sendiri, sedangkan unsur ekstrinsik ialah unsur yang
turut membangun cerita dari luar karya sastra.
Unsur intrinsik yang terdapat dalam puisi, prosa, dan drama memiliki
perbedaan, sesuai dengan ciri dan hakikat dari ketiga genre tersebut.
Namun unsur ekstrinsik pada semua jenis karya sastra memiliki kesamaan.
Unsur intrinsik sebuah puisi terdiri dari tema, amanat, sikap atau nada,
perasaan, tipografi, enjambemen, akulirik, rima, citraan, dan gaya
bahasa. Unsur ekstrinsik yang banyak mempengaruhi puisi antara lain:
unsur biografi, unsur kesejarahan, serta unsur kemasyarakatan.
Kegiatan Belajar 2
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Prosa
Unsur pembangun prosa terdiri dari struktur dalam atau unsur
intrinsik serta struktur luar atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
prosa terdiri dari tema dan amanat, alur, tokoh, latar, sudut pandang,
serta bahasa yang dipergunakan pengarang untuk mengekspresikan
gagasannya.
Tema prosa fiksi terutama novel dapat terdiri dari tema utama serta
beberapa tema bawahan. Pada cerpen yang memiliki pengisahan lebih
singkat, biasanya hanya terdapat tema utama.
Alur merupakan struktur penceritaan yang dapat bergerak maju (alur
maju), mundur (alur mundur), atau gabungan dari kedua alur tersebut
(alur campuran). Pergerakan alur dijalankan oleh tokoh cerita. Tokoh
yang menjadi pusat cerita dinamakan tokoh sentral. Tokoh adalah pelaku
di dalam cerita. Berdasarkan peran tokoh dapat dibagi menjadi tokoh
utama, tokoh bawahan, dan tokoh tambahan. Tokoh tercipta berkat adanya
penokohan, yaitu cara kerja pengarang untuk menampilkan tokoh cerita.
Penokohan dapat dilakukan menggunakan metode (a) analitik, (b) dramatik,
dan (c) kontekstual.
Tokoh cerita akan menjadi hidup jika ia memiliki watak seperti layaknya
manusia. Watak tokoh terdiri dari sifat, sikap, serta kepribadian tokoh.
Cara kerja pengarang memberi watak pada tokoh cerita dinamakan
penokohan, yang dapat dilakukan melalui dimensi (a) fisik, (b) psikis,
dan (c) sosial.
Latar berkaitan erat dengan tokoh dan alur. Latar adalah seluruh
keterangan mengenai tempat, waktu, serta suasana yang ada dalam cerita.
Latar tempat terdiri dari tempat yang dikenal, tempat tidak dikenal,
serta tempat yang hanya ada dalam khayalan. Latar waktu ada yang
menunjukkan waktu dengan jelas, namun ada pula yang tidak dapat
diketahui secara pasti.
Cara kerja pengarang untuk membangun cerita bukan hanya melalui
penokohan dan perwatakan, dapat pula melalui sudut pandang. Sudut
pandang adalah cara pengarang untuk menetapkan siapa yang akan
mengisahkan ceritanya, yang dapat dipilih dari tokoh atau dari narator.
Sudut pandang melalui tokoh cerita terdiri dari (a) sudut pandang akuan,
(b) sudut pandang diaan, (c) sudut pandang campuran. Dalam menuangkan
cerita menggunakan medium bahasa, pengarang bebas menentukan akan
menggunakan bahasa nasional, bahasa daerah, dialek, ataupun bahasa
asing.
Kegiatan Belajar 3
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Drama
Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur ekstrinsik
yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri
dari tema, plot, tokoh, dialog, karakter, serta latar.
Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang
kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa
adanya konflik, cerita drama akan terasa datar. Konflik terdapat di
dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh.
Tokoh drama terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut
perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh bawahan, serta tokoh
tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai
tokoh protagonis, tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis.
Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog namun
dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan latar
yang saling berhubungan erat. Latar dalam drama sangat mempengaruhi
karakter tokoh.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Damono, Sapardi Djoko. (1994). Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Herfanda, Ahmadun Yosi. (1996). Sembahyang Rumputan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Jabbar, Hamid. (1998) . Super Hilang. Jakarta: Balai Pustaka.
Laurence, Perrine. (1973). Sound and Sense: An Introduction to Poetry. New York: Harcout Brace Javanovich.
Nurgiyantoro, Burhan. (2000). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rampan, Korrie Layun. (1985). Puisi Indonesia Hari Ini: Sebuah Kritik. Jakarta: Yayasan Arus.
Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Yayasan Arus.
———–. (2001). Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wellek, Rene dan Austrin Warren. (1990). Teori Kesusastraan. Melani Budianta (Terj.) Jakarta: Gramedia.
MODUL 5: PUISI
Kegiatan Belajar 1
Pengertian dan Ciri-ciri Puisi
Puisi ialah perasaan penyair yang diungkapkan dalam pilihan kata yang
cermat, serta mengandung rima dan irama. Ciri-ciri puisi dapat dilihat
dari bahasa yang dipergunakan serta dari wujud puisi tersebut. Bahasa
puisi mengandung rima, irama, dan kiasan, sedangkan wujud puisi terdiri
dari bentuknya yang berbait, letak yang tertata ke bawah, dan tidak
mementingkan ejaan. Untuk memahami puisi dapat juga dilakukan dengan
membedakannya dari bentuk prosa.
Kegiatan Belajar 2
Jenis-jenis Puisi
Berdasarkan waktu kemunculannya puisi dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu puisi lama, puisi baru, dan puisi modern.
Puisi lama adalah puisi yang lahir sebelum masa penjajahan Belanda,
sehingga belum tampak adanya pengaruh dari kebudayaan barat. Sifat
masyarakat lama yang statis dan objektif, melahirkan bentuk puisi yang
statis pula, yaitu sangat terikat pada aturan tertentu. Puisi lama
terdiri dari mantra, bidal, pantun dan karmina, talibun, seloka,
gurindam, dan syair.
Puisi baru adalah puisi yang muncul pada masa penjajahan Belanda,
sehingga pada puisi baru tampak adanya pengaruh dari kebudayaan Eropa.
Penetapan jenis puisi baru berdasarkan pada jumlah larik yang terdapat
dalam setiap bait. Jenis puisi baru dibagi menjadi distichon, terzina,
quatrain, quint, sextet, septima, stanza atau oktaf, serta soneta.
Puisi modern adalah puisi yang berkembang di Indonesia setelah masa
penjajahan Belanda. Berdasarkan cara pengungkapannya, puisi modern dapat
dibagi menjadi puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik.
Kegiatan Belajar 3
Analisis Unsur-unsur Intrinsik Puisi
Untuk memahami makna sebuah puisi dapat dilakukan dengan menganalisis
unsur-unsur intrinsiknya, misalnya dengan mengkaji gaya bahasa dan
bentuk puisi. Gaya bahasa yang dipergunakan penyair mencakup (1) Gaya
bunyi yang meliputi: asonansi, aliterasi, persajakan, efoni, dan
kakofoni. (2) Gaya kata yang membahas tentang pengulangan kata dan
diksi. (3) Gaya kalimat yang berisi gaya implisit dan gaya retorika. (4)
Larik, dan (5) bahasa kiasan.
Memahami puisi melalui bentuknya dapat dilakukan dengan menelaah
tipografi, tanda baca, serta enjambemen. Untuk mempermudah dan
memperjelas penganalisisan puisi, di depan setiap larik berilah bernomor
urut. Apabila puisi yang hendak dianalisis tersebut memiliki beberapa
bait, dapat pula diberi bernomor pada setiap baitnya.
Kegiatan Belajar 4
Penafsiran Puisi
Agar dapat memahami isi puisi diawali dengan menelaah atau melakukan
kajian terhadap gaya maupun bentuk puisi yang bersama-sama membentuk
suatu keutuhan isi puisi.
Perhatikan jika terdapat hal-hal yang menarik perhatian, misalnya judul
serta kekerapan kata. Banyaknya kata yang berulang dapat menggiring
pembaca dalam memahami tema. Jika terdapat bait yang mengandung sedikit
lirik, biasanya di sanalah tertuang tema puisi. Seperti halnya pada
judul yang juga dapat membayangkan tema. Tetapi ingat, judul belum tentu
sama dengan tema.
Mengetahui tema serta akulirik merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dalam upaya memahami puisi.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Chairil. (2000). Derai-derai Cemara. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa.
Bachri, Sutardji Calzoum. (1981). O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.
Hamzah, Amir. (1977). Buah Rindu. Jakarta: Dian Rakyat.
Ismail, Taufik. (1993). Tirani dan Benteng. Jakarta: Yayasan Ananda.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1990). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Situmorang, B. P. (1983). Puisi: Teori Apresiasi Bentuk dan Struktur. Ende-Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
MODUL 6: PROSA
Kegiatan Belajar 1
Pengertian dan Ciri Prosa Fiksi
Prosa fiksi sebagai cerita rekaan bukan berarti prosa fiksi adalah
lamunan kosong seorang pengarang. Prosa fiksi adalah perpaduan atau
kerja sama antara pikiran dan perasaan. Fiksi dapat dibedakan atas fiksi
yang realitas dan fiksi yang aktualitas. Fiksi realitas mengatakan:
“seandainya semua fakta, maka beginilah yang akan terjadi. Jadi, fiksi
realitas adalah hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi.
Penulis fiksi membuat para tokoh imaginatif dalam karyanya itu menjadi
hidup. Fiksi aktualitas mengatakan “karena semua fakta maka beginilah
yang akan terjadi”. Jadi, aktualitas artinya hal-hal yang benar-benar
terjadi. Contoh: roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi.
Prosa selalu bersumber dari lingkungan kehidupan yang dialami,
disaksikan, didengar, dan dibaca oleh pengarang. Adapun ciri-ciri prosa
fiksi adalah bahasanya terurai, dapat memperluas pengetahuan dan
menambah pengetahuan, terutama pengalaman imajinatif. Prosa fiksi dapat
menyampaikan informasi mengenai suatu kejadian dalam kehidupan. Maknanya
dapat berarti ambigu. Prosa fiksi melukiskan realita imajinatif karena
imajinasi selalu terikat pada realitas, sedangkan realitas tak mungkin
lepas dari imajinasi. Bahasanya lebih condong ke bahasa figuratif dengan
menitikberatkan pada penggunaan kata-kata konotatif. Selanjutnya prosa
fiksi mengajak kita untuk berkontemplasi karena sastra menyodorkan
interpretasi pribadi yang berhubungan dengan imajinasi.
Kegiatan Belajar 2
Jenis-jenis Prosa
Berdasarkan pembagian sejarah sastra Indonesia, dikenal 2 macam sastra, yaitu sastra klasik dan sastra modern.
Sastra modern termasuk di dalamnya prosa baru yang mencakup roman,
novel, novel populer, cerpen. Selanjutnya sastra klasik termasuk di
dalamnya yaitu prosa lama yang mencakup cerita rakyat, dongeng, fabel,
epos, legenda, mite, cerita jenaka, cerita pelipur lara, sage, hikayat,
dan silsilah.
Roman adalah salah satu jenis karya sastra ragam prosa. Pengertian roman
pada mulanya ialah cerita yang ditulis dalam bahasa Romana. Dalam
perkembangannya kemudian, roman berupa cerita yang mengisahkan
peristiwa/pengalaman lahir/batin sejumlah tokoh pada satu masa tertentu.
Hal ini terjadi pada akhir abad ke-17. Perkembangan roman mencapai
puncaknya pada abad ke-18. Pada abad ke-19 muncullah penulis-penulis
roman yang termasyhur, seperti Honore de Balzac, Gustave Flaubert, Emile
Zola, Charles Dickens, Leo Tolstoy, F. Dostojevski. Penulis-penulis
roman ini kemudian disusul oleh rekan-rekannya yang mewakili abad ke-20,
seperti Proust, Joyce, Kafka, dan Faulkner.
Bentuk yang hampir sama dengan roman adalah novel. Bagi pembaca awam,
kedua bentuk ini sulit dibedakan. Pada dasarnya novel maupun roman
menceritakan hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia
sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan dapat berubah.
Novel dapat dibedakan menjadi novel kedaerahan, novel psikologi, novel
sosial, novel gotik, dan novel sejarah, serta novel populer.
Cerita jenis lain yang memiliki ciri utama sepertri novel adalah cerpen.
Bedanya dengan novel, cerpen penceritaannya lebih ringkas, masalahnya
lebih padu dan plotnya tunggal dan terfokus ke akhir cerita. Sebuah
cerita yang panjang yang berjumlah ratusan halaman, jelas tidak dapat
disebut dengan cerpen.
Kegiatan Belajar 3
Unsur Intrinsik Prosa
Unsur intrinsik prosa terdiri atas alur, tema, tokoh dan penokohan,
latar/setting, sudut pandang, gaya, pembayangan, dan amanat. Alur atau
plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi, bahwa pada umumnya alur cerita
rekaan terdiri atas
1. alur buka, yaitu situasi terbentang sebagai suatu kondisi permulaan
yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;2. alur tengah, yaitu
kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang memulai memuncak;3. Alur
puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak sebagai klimaks peristiwa ;
dan4. alur tutup
Dengan kata lain, alur cerita meliputi paparan, konflik, klimaks dan
penyelesaian. Kedelapan unsur tersebut saling mengisi dalam sebuah
prosa. Tema, misalnya menjadi sentral yang mengilhami cerita. Begitu
juga dengan penokohan yang meramu watak tokohnya menjadi penyampai pesan
yang diinginkan pengarang, baik yang jahat maupun yang baik. Agar
penokohan ini tampak lebih hidup, ditopang dengan latar/setting cerita,
gaya, pembayangan dan amanat.
Kegiatan Belajar 4
Unsur Ekstrinsik dan Tingkat Penilaian karya Sastra
Unsur ekstrinsik prosa fiksi adalah segala faktor luar yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra seperti nilai sosiologi, nilai
kesejarahan, nilai moral, nilai psikologi. Ia merupakan nilai subjektif
pengarang yang bisa berupa kondisi sosial,motivasi, tendensi yang
mendorong dan mempengaruhi kepengarangan seseorang. Pada gilirannya
unsur ekstrinsik yang sebenarnya ada di luar karya sastra itu, cukup
membantu para penelaah sastra dalam memahami dan menikmati karya yang
dihadapi. Pengalaman mendalam dan pengenalan unsur ekstrinsik tersebut
memungkinkan seseorang penelaah mampu ,menginterpretasikan karya sastra
dengan lebih tepat.
Unsur tingkat nilai penghayatan dalam prosa fiksi adalah neveau
anorganik, neveau vegetatif, neveau animal, neveau humanis, dan neveau
metafisika/ transendental.
DAFTAR PUSTAKA
Arya, Putu.(1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Effendi. S. (1982). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam.
Fananie, Zainuddin. (1982). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Luxemburg, et.al. (1984). Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Mido, Frans. (1984).Cerita Rekaan dan Seluk Beluknya. Ende-Flores: Nusa Indah .
Semi Atar M. (1992). Anatomi Sastra. Bandung: Rosda Karya.
Sudjiman, Panuti. (1992). Memahami Cerita Rekaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suyitno. Sastra. (1992). Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta: Hanindita.
Tarigan Guntur H. (1985). Prinsip -prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono Libertus, T. (1988). Sastra Indonesia, Pengantar Teori dan Apresiasi. Ende Flores: Nusa Indah.
Waluyo, Herman . (1984). Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS.
Wellek & Warren A.(1993). Teori Kesusasteraan (Diindonesiakan Melami Budianta) Jakarta: Gramedia.
MODUL 7: SELUK-BELUK DRAMA
Kegiatan Belajar 1
Pengertian Drama Laku dalam Simulasi Realitas
Drama adalah laku yang meniru laku dalam kehidupan nyata untuk
memberikan pengukuhan dan alternatif bagi kehidupan itu sendiri. Karena
yang ditekankan adalah laku, maka kata-kata/dialog dalam drama harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan situasi
interaksi atau komunikasi manusia yang melibatkan tidak hanya
kata-kata/dialog itu sendiri, tetapi juga situasi yang melingkungi
dialog, seperti siapa yang berdialog, kapan dan di mana dialog itu
berlangsung, dan mengapa dialog itu diutarakan. Dengan demikian, dalam
laku drama kita melihat kesatuan antara kata-kata, perbuatan, dan
situasi. Sifat kemenyatuan ini sangat sesuai atau mirip dengan keadaan
yang berlangsung dalam kehidupan komunikasi manusia yang nyata. Oleh
karena itu, drama dapat berfungsi sebagai media simulasi realitas, yaitu
media untuk menghaluskan dan mengembangkan diri manusia dan
kebudayaannya melalui penanaman nilai kultural/keagamaan, penyampaian
pemikiran baru, dan penyampaian kritik sosial.
Kegiatan Belajar 2
Struktur Drama
Sebagai naskah yang utuh, drama dibangun oleh beberapa unsur yang
saling berkaitan, yaitu dialog, petunjuk pemanggungan, plot, dan
karakter. Dialog merupakan ucapan tokoh tertentu yang kemudian disusul
oleh ucapan tokoh yang lain. Melalui pergiliran ucapan tokoh-tokoh
itulah segala informasi diutarakan perlahan-lahan dari awal sampai akhir
drama. Karena itulah kedudukan dialog sangat penting dan utama di dalam
drama. Selain itu, informasi juga diberikan melalui petunjuk
pemanggungan. Petunjuk pemanggungan adalah teks sampingan yang berfungsi
untuk memberikan petunjuk tentang berbagai aspek pemang-gungan, yakni
aspek karakter, penuturan, dan desain. Teks ini mungkin terdapat di
dalam dialog (intradialog) dan mungkin pula terdapat di luar dialog
(ekstradialog). Unsur drama berikutnya adalah plot, yaitu pola
pengaturan kejadian dalam drama yang membuat kejadian-kejadian tersebut
saling berhubungan secara logis, utuh, dan bermakna. Kejadian-kejadian
dalam drama tentu saja muncul karena adanya tindakan tokoh/karakter
dramatik dengan segala aspek psikis, moral, sosial, dan ciri fisiknya.
Kegiatan Belajar 3
Jenis Drama
Pada umumnya, drama dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu tragedi dan
komedi. Pengelompokan ini didasarkan pada cara pandang filosofis drama
tersebut terhadap hakikat hidup manusia. Pandangan hidup yang khas dalam
drama tragedi terletak pada penegasan bahwa manusia harus menerima
suratan nasib yang tidak dapat dihindarkan. Namun, tragedi juga
menggambarkan kenyataan bahwa meskipun kita harus menghadapi dan
menerima suratan nasib, kita juga punya kebutuhan yang kuat untuk
memberi makna pada nasib kita. Oleh karena itu, semangat drama tragedi
tidaklah pasif, melainkan penuh dengan semangat perjuangan, yakni
perjuangan untuk memberi makna pada nasib hidup manusia. Adapun komedi
menggambarkan kenyataan bahwa seberapa kali pun kita jatuh atau gagal,
kita akan dapat bangkit kembali dan meneruskan kehidupan. Komedi
memperlihatkan kehendak hidup yang tak terpadamkan. Inilah semangat yang
menggerakkan tokoh-tokohnya, yakni semangat untuk merayakan kegembiraan
hidup. Kegembiraan hidup itu ditunjukkan dengan cara menyimpangkan
keseriusan dan kesakitan (penderitaan) sedemikian rupa sehingga dapat
menimbulkan kelucuan.
Kegiatan Belajar 4
Pementasan Drama
Naskah drama dibuat bukan semata-mata untuk dibaca, tetapi lebih
dimaksudkan untuk dipentaskan. Untuk mewujudkan naskah drama menjadi
sebuah pementasan, diperlukan banyak pihak yang harus bekerja sama
secara kompak. Pihak-pihak tersebut adalah produser, sutradara,
aktor/aktris, dan desainer. Berbagai pihak ini kemudian mengubah atau
mengonkretkan naskah menjadi konsep produksi, yakni suatu rumusan
konseptual atau ide dasar yang menyatukan berbagai aspek pementasan yang
berbeda sehingga dapat terbentuk suatu sudut pandang pemaknaan bersama
terhadap produksi pementasan. Rumusan ini bersifat general, konkret, dan
inspiratif. Dengan panduan konsep produksi itulah berbagai pihak
tersebut saling memberikan kontribusi demi terciptanya pementasan yang
berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Awuy, Tommy. (1992). Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, dan Problema. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Corrigan, Robert W. (1979). The World of Theatre. Glenview: Scott, Foresman and Co.
Dahana, Radhar Panca. (2000). Homo Theatricus. Magelang: Yayasan Indonesia Tera.
Esslin, Martin. (1979). An Anatomy of Drama. New York: Hill and Wang.
Soemanto, Bakdi. (2001). Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sugiyati, dkk. (1993). Teater untuk Dilakoni. Bandung: Studiklub Teater Bandung.
Sumardjo, Jakob. (1992). Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
MODUL 8: TEORI-TEORI SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Teori Psikoanalisis Sastra
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai
symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejalanya
muncul dalam bentuk gangguan-gangguan fisik, sedangkan dalam diri
sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu,
dengan anggapan semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel, misalnya
akan diperlakukan seperti manusia yang hidup di dalam lamunan si
pengarang. Konflik-konflik kejiwaan yang dialami tokoh-tokoh itu dapat
dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan
pengarangnya sendiri. Akan tetapi harus diingat, bahwa pencerminan ini
berlangsung secara tanpa disadari oleh si pengarang novel itu sendiri
dan sering kali dalam bentuk yang sudah terdistorsi, seperti halnya yang
terjadi dengan mimpi. Dengan kata lain, ketaksadaran pengarang bekerja
melalui aktivitas penciptaan novelnya. Jadi, karya sastra sebenarnya
merupakan pemenuhan secara tersembunyi atas hasrat pengarangnya yang
terkekang (terepresi) dalam ketaksadaran.
Kegiatan Belajar 2
Teori Sastra Struktural
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya
sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya
adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum
yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga
unsur-unsur tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang
utuh. Meskipun konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial
dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra
struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan
dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara
otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosial. Analisis yang
seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang
membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan
tentang sistem sastra.
Kegiatan Belajar 3
Teori Sastra Feminis
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas
sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah
untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran
atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau
peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah
perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan
jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan
memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan
pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar
anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran
perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra
perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum
perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik. Di sini yang
diupayakan adalah penelitian tentang kekhasan karya sastra yang dibuat
kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra
kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus,
misalnya proses kreatifnya, biografinya, dan perkembangan profesi
sastrawan perempuan. Penelitian-penelitian semacam ini kemudian
diarahkan untuk membangun suatu pengetahuan tentang sejarah sastra dan
sistem sastra kaum perempuan.
Kegiatan Belajar 4
Teori Sastra Struktural
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan
resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah
karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri,
melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang
dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat
dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra
sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam
pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca
terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya
sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas
yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap
berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan
bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu.
Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu
1. kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra,
yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra
akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman
horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman
oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita
terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan
masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra,
kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi
yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran
kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini
terkandung dalam horizon harapan kita.
DAFTAR PUSTAKA
Atmazaki. (1990). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Bandung: Angkasa Raya.
Brill, A. A. (1955). Lectures on Psychoanalytic Psychiatry. New York: Vintage Books.
Brill, A. A. (1960). Basic Principles of Psychoanalysis. New York: Washington Square Press.
Budianta, Melani dalam Kris Budiman. (2002). Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanal.
Culler, Jonathan. (1975). Structuralist Poetics. London: Routledge & Kegan Paul.
Djajanegara, Soenarjati. (2000). Kritik Sastra Feminis. Jakarta: Gramedia.
Eneste, Pamusuk. (1983). Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia.
Freud, Sigmund. (1938). Interpretation of Dreams dalam The Basic Writing of Sigmund Freud. New York: Modern Library.
_____________. (2001). Tafsir Mimpi. Yogyakarta: Jendela.
Jabrohim. (2001). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.
Jefferson, Ann dan Robey, David. (1993). Modern Literary Theory: A Comparative Introduction. London: B. T. Batsford Ltd.
Junus, Umar. (1985). Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Milner, Max. (1992). Freud dan Interpretasi Sastra. Jakarta: Intermasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Propp, Vladimir. (1987). Morfologi Cerita Rakyat. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.
Scholes, Robert. (1974). Structuralism in Literature. New Haven: Yale University Press.
Selden, Raman. (1991). Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugihastuti. (2000). Wanita di Mata Wanita. Bandung: Nuansa.
Suhandjati, Sri dan Sofwan, Ridin. (2001). Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
____________. (1983). Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Todorov, Zvetan. (1985). Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
MODUL 9: ALIRAN SASTRA
Kegiatan Belajar 1
Supernaturalisme dan Naturalisme serta Idealisme dan Materialisme
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah
istilah-istilah yang digunakan di kalangan ilmu filsafat sebagai suatu
paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu
sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan
karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode
tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang
dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang
menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut.
Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang
dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini.
Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua
macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut
dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural
mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat
gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata
yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati
sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan
yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia
yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh
beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak
paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang
terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu
sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham
ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi,
kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir
kehidupan adalah materi, atau kebendaan.
Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan
karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme.
Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan
cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran
ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang
seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka
mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu
kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani
mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di
dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang
nyata.
Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini
mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak.
Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang
mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini
digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang
bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini.
Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau
naturalisme ini disebut juga dengan aliran realisme, yaitu bentuk
lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang
berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan
bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau
naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Kegiatan Belajar 2
Idealisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Aliran-aliran yang terdapat di dalam karya sastra tidak dapat di-
“cap”-kan sepenuhnya kepada seorang pengarang. Sutan Takdir Alisyahbana,
misalnya dalam karyanya ia idealis tetapi juga romantis, sehingga ia
juga dikenal sebagai seorang yang beraliran romantis-idealis.
Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme, simbolisme,
ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke
dalam aliran materialisme ialah aliran realisme, naturalisme,
impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang berpandangan ke arah
manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran
eksistensialisme.
Aliran idealisme adalah aliran di dalam filsafat yang mengemukakan bahwa
dunia ide,dunia cita-cita, dunia harapan adalah dunia utama yang dituju
dalam pemikiran manusia. Dalam dunia sastra, idealisme berarti aliran
yang menggambarkan dunia yang dicita-citakan, dunia yang
diangan-angankan, dan dunia harapan yang masih abstrak yang jauh jangka
waktu pencapaiannya. Di dalamnya digambarkan keindahan hidup yang ideal,
yang menyenangkan, penuh kedamaian, kebahagiaan, ketenteraman, adil
makmur dan segala sesuatu yang menggambarkan dunia harapan yang sesuai
dengan tuntutan batin yang menyenangkan yang tidak lagi adanya
keganasan, kecemasan, kemiskinan, penindasan, ketidakadilan,
keterbelakangan, yang menyusahkan dan menyengsarakan batin. Sastrawan
Indonesia yang dikenal sebagai seorang yang idealis baik di dalam novel
maupun puisinya ialah Sutan Takdir Alisyahbana.
Aliran romantisme ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar
perwujudan pemikiran pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya
setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk mewujudkan pemikirannya,
pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan
sesempurna-sempurnanya. Aliran romantisme biasanya dikaitkan dengan
masalah cinta karena masalah cinta memang membangkitkan emosi. Tetapi
anggapan demikian tidaklah selamanya benar.
Simbolisme adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya
bukan manusia melainkan binatang, atau benda-benda lainnya seperti
tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia.
Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang
dapat bertindak, berbicara, berkomunikasi, berpikir, berpendapat
sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran
simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung
pencerita atau pengarang berbicara. Pada masyarakat lama, misalnya di
mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat
kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka
disalurkan melalui bentuk-bentuk peribahasa atau fabel.
Aliran ekspresionisme adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan
curahan batin atau curahan jiwa dan tidak mementingkan
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang nyata. Ekspresi batin
yang keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau
sikap pengarang. Aliran ini mula-mula berkembang di Jerman sebelum
Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah
Chairil Anwar.
Mistisisme adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran
mistik, yaitu pemikiran yang berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan
Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya sastra yang
beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan
diri dengan Zat Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa
kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya
yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini
yang memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto,
dan Rifai Ali.
Surealisme adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan
kehidupan dan pembicaraan alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa
yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan serentak. Aliran
ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria
yang dikenal dengan psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang
dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria traumatik yang
dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang
dilakukan dengan kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara
menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Breuer. Menurut
Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia
digerakkan oleh libido, nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah
sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada kondisinya semula.
Kegiatan Belajar 3
Realisme dan Aliran Lainnya dalam Karya Sastra
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan
suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam
keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan
dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide,
pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert seorang
pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang
sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik
pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam
karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan
objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya.
Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni
musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati
dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini
bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran
impresionisme tidak berbeda dengan aliran realisme, hanya pada
impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang
objek yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh
pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi visi pengarang yang sesuai
dengan situasi dan kondisi tertentu.
Karya sastra yang beraliran impresionisme pada umumnya terdapat pada
masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan
berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan
secara terbuka. Semua idealisme disalurkan melalui bentuk yang halus
yang maknanya terselubung.
Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif antara lain ialah
Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi
W.M., dan W.S Rendra.
Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam
yang nyata ini terjadi karena kekuatan alam itu sendiri yang
berinteraksi sesamanya. Kebenaran penciptaan alam ini bersumber pada
kekuatan alam (natura). Di dalam seni lukis aliran naturalisme ini
dimaksudkan sebagai karya seni yang menampilkan keadaan alam apa adanya,
berdasarkan faktor perspektif, proporsi sinar, dan bayangan. Di dalam
karya sastra aliran naturalisme adalah aliran yang juga menampilkan
peristiwa sebagaimana adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan
realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa adanya yang
mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan
naturalisme sebaliknya.
Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah
Emil Zola (1840-1902) pengarang Perancis. Dalam karyanya gambaran
kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni
(l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di
Indonesia pengarang yang karyanya cenderung beraliran naturalisme adalah
Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada awal-awal
novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang
dikategorikan pornografis. Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga
memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis.
Determinisme ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari
naturalisme yang menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan
manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan lingkungan. Takdir yang
dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa
melainkan takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor
keturunan dan faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Kegiatan Belajar 4
Eksistensialisme dalam Karya Sastra
Di samping aliran-aliran yang telah dibicarakan sebelumnya, terdapat
pula aliran kesusastraan yang berkembang akhir-akhir ini, yaitu aliran
eksistensialisme. Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul
dari rasa ketidakpuasan terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran
materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme yang hanya
mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme
yang menganggap materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan
manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai keberadaan sendiri yang
tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya
sebagai subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat
manusia hanya sebagai objek. Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia
ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin mencari
jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang
berpikiran bahwa manusia di samping ia sebagai subjek ia pun juga
sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal 193).
Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan
dari kata ex yang berarti ke luar dan sistere berarti berdiri. Jadi
eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran
seperti ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar
dari dirinya, manusia menyadari keberadaan dirinya, ia berada sebagai
aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang
dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya,
manusia selalu memperbaiki, atau membangun dirinya, ia tidak pernah
selesai dalam membangun dirinya.
Filsuf yang pertama mengemukakan eksistensi manusia ialah Soren Aabye
Kierkegaard (1813-1855) dari Denmark, kemudian Jean Paul Satre
(1905-1980) filsuf Perancis yang menyebabkan eksistensialisme menjadi
terkenal. Menurut Satre karena manusia menyadari bahwa dia ada, yang
berarti manusia menyadari pula bahwa ia menghadapi masa depan. Karenanya
manusia sebagai individu mempunyai tanggung jawab terhadap masa depan
dirinya sendiri dan tanggung jawab terhadap manusia secara keseluruhan.
Akibatnya, orang eksistensialisme berpendapat bahwa salah satu watak
keberadaan manusia adalah rasa takut yang datang dari kesadaran tentang
wujudnya di dunia ini. Sebagai manusia yang mempunyai tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri dan terhadap manusia lainnya di dunia ini,
mereka bebas menentukan, bebas memutuskan dan sendiri pula memikul
akibat keputusannya tanpa ada orang lain atau sesuatu yang bersamanya.
Dari konsepnya ini timbul pemikiran bahwa nasib manusia ditentukan oleh
dirinya sendiri dengan tidak bantuan sedikit pun dari yang lain.
Akibatnya, manusia selalu hidup dalam rasa sunyi, cemas, putus asa, dan
takut serta selalu dipenuhi bayangan harapan yang tak pernah terwujud
dan berakhir.
Karena dasar eksistensialisme ini adalah ide tentang keberadaan manusia,
maka aliran ini tidak mementingkan gaya bahasa yang khas yang
mencerminkan aliran tertentu, melainkan menekankan kepada pandangan
pengarang terhadap kehidupan dan keberadaan manusia. Dalam
perkembangannya, aliran eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur,
yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme yang theistis.
Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan
eksistensialisme yang theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia
menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah kenyataan karena
adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang
menciptakannya, dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata
dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, keberadaan
manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian
kepada Tuhan.
Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada
novel-novel karya Iwan Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan
Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang memperlihatkan manusia sebagai
tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia
gelisah, tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan
berlangitkan relativisme-relativisme.
DAFTAR PUSTAKA
Fananie, Zainuddin. (2000). Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press
Faulkner, Peter. (1991). Modernisme Seri Konsep Sastra. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hasan, Fuad. (1992). Perkenalan dengan Eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya.
Pringgodigdo, A.G. (1977). Ensiklopedi Umum. Jakarta: Kanisius.
Rampan, Corrie Layun. (1966). Aliran dan Jenis Cerita Pendek. Flores: Nusa Indh.
.(2000). Angkatan 2000 dalam Karya Sastra. Jakarta: Gramedia.
Utami, Ayu. (1998). Saman. Jakarta: Gramedia.
Simaatupang, Iwan. (1976). Ziarah. Jakarta: Jambatan.
Sugiarto, Bambang. (1999). Post Modernisme, Tantangan bagi Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Suriasumantri, Yuyun. (1993). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tafsir, Ahmad. (1994). Filsafat Ilmu: Akal dan Hati Sejak Thales
sampai James: Pengantar kepada Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tuloli, Nani. (1999). Penyair dan Sajaknya 1920-1990. Gorontalo: BMT Nurul Jannah.
W.M., Abdulah Hadi (1992). Mereka Menunggu Ibunya. Jakarta: Balai Pustaka
sumber: diksatrasia
No comments:
Post a Comment