Membaca Perempuan dalam Perspektif
Gender
Oleh Zoya Herawati (Sinar Harapan, 12
Agustus 2011)
BERAWAL dari rasa rendah diri berlebihan
tokoh “aku” pada novel ini mencoba mencari jati diri menghadapi setiap
persoalan yang dihadapi.
Aku seorang perempuan dan tak pernah
dicuri oleh perampok paling brengsek sekalipun (hal 13). Tokoh seperti ini
jelas korban patriarkhi. Tokoh yang dikuasai ras tertentu sehingga berdampak
pada perasaan minder luar biasa (hal 18).
Menandai kebangkitan perempuan dengan
kesadaran terhadap perspektif gender, diciptakanlah tokoh-tokoh perempuan
perkasa dalam novel-novel atau legenda-legenda yang sadar diri akan perannya di
ranah publik.
Masih tentang budaya patriarkhi, novel
ini berangkat dari ketidakberdayaan perempuan yang kemudian mengilhami
pengarang tentang pemberontakan perempuan terhadap budaya dan adat-istiadat
yang mengungkung/membungkam hak dan kebebasan mereka.
Hal ini lazim terjadi pada masyarakat
yang terbelakang cara berpikirnya disebabkan beberapa pengaruh tradisi atau
kebiasaan, keyakinan atau tafsir agama, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh dalam novel ini dalam
balutan persoalan kemiskinan, penderitaan, keterasingan sebuah dinasti keluarga
Mak Kaji Idayu Kiyati. Kisah dalam novel ini dipenuhi detail jalan hidup mereka
yang harus ditempuh dalam menggempur budaya patriarkhi.
Kisah tentang Lastri Srigati yang
mewarisi keterasingan ibunya dan dipaksa kawin dengan Matjain—pria pemuja
leluhurnya yang keturunan Sunan Bonang dan jatuh cinta pada klenik, juga
tentang arus jalan anak turunnya menuju alam cita di luar ruang dan waktu guna
melintasi penderitaan dengan jalan keindahan tanha:
Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata
Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah. Tokoh-tokoh
dalam novel ini adalah perempuan-perempuan liberal, yang digambarkan sadar,
bahwa secara struktur dan transformasi sosial berjalan dengan tidak adil.
Pada halaman 17 terlihat jelas pengarang
ingin menggambarkan betapa tokoh perempuan dalam novel ini penganut paham
feminisme radikal yang menjelma dalam roh Calon Arang, tokoh perempuan tukang
teluh yang hidup pada zaman raja-raja Kediri.
Calon Arang sering disebut Rangda Nateng
Girah yang artinya adalah penguasa Desa Girah. Ia sangat sakti dengan ilmu
teluhnya, diceritakan putrinya cantik jelita Ratna Mangali, tak kunjung dilamar
pemuda karenanya.
Paham feminis Marxist dan feminis
sosialis juga sarat digambarkan dalam tokoh-tokoh yang mengambil “aku” sebagai
peran sentral. Style penulisan seperti ini jika pembaca tidak jeli, akan muncul
persepsi bahwa cerita dibangun tanpa plot. Gaya linier seperti ini memang agak
sulit diikuti, karena setiap plot mewakili setiap tokoh yang dihadirkan yang
seakan-akan tidak berkaitan.
Menjangkau dimensi di balik sebuah novel
memerlukan ketelitian yang serius, sebab novel TANHA, Kekasih yang Terlupa ini
meski digarap dengan serius, tetapi pengarang kadang kelepasan. Artinya,
pengarang bisa nyelonong begitu saja dan hadir di sembarang rangkaian cerita,
sehingga sedikit mengganggu, seperti pada halaman 25.
Mendadak pengarang bisa kembali ke dunia
realitas. Apakah dimaksudkan ingin berbaur dengan realitas? Apa pun hal ini
tampaknya bisa merusak sebagian bingkai cerita, yang semestinya bisa
disampaikan pada sebuah catatan kaki atau cara lainnya.
Semisal hadirnya sahabat seorang
tokohnya bernama Agus Sunyoto (pengarang) pada halaman 25. Tokoh “Tuan”
mewakili kehadiran pengarang, meski bukan dalam bentuk pemikiran, tetapi dalam
wujud nyata, persahabatan dengan pengarang tersebut.
Selain itu, munculnya nama penyair
Subagio Sastrowardoyo pada halaman 73. Hal ini menunjukkan pengarang belum bisa
menarik jarak dengan tokoh yang diciptakannya. Ini kelemahan yang sering
dijumpai pada sebagian pengarang.
Bingkai Feminisme
Novel TANHA, Kekasih yang Terlupa
merupakan gugatan perempuan terhadap takdir sekaligus jalan hidup yang
mengekang keberadaan mereka dalam dunia. Melalui feminisme liberalis,
radikalis, sosialis, tokoh-tokoh dalam TANHA mencoba hadir dengan
mengobrak-abrik nilai-nilai yang sudah ada.
Feminisme liberal menekankan pada
rasionalitas kebebasan dan equality, kesamaan harkat. Feminisme radikal yang
kemunculannya sebagai reaksi atas seksisme di Barat dan menguatkan postulat
penindasan perempuan berakar pada kaum lelaki.
Feminisme Marxist, menolak gagasan
biologis sebagai dasar pembedaan gender/penindasan kelas dalam relasi produksi
womens question selalu diletakkan pada kerangka kritik pada kapitalisme. Adapun
sintesa antara metode historis materialistis Marx dan Engel melahirkan feminisme
sosialis, yang kemudian terkenal dengan slogan the personal is political.
Analisis sosial yang dihadirkan
pengarang pada novel ini memang rinci, tetapi realitas itu biasanya lebih
kompleks daripada gambaran yang disajikan dalam proses analitis, tetapi di
sinilah keunikan sebuah novel, yang menyajikan apa yang sudah dan belum
tersaji.
Dengan menyingkap dan memperjelas
nilai-nilai pada setting lokasi, pengarang mencoba menghadirkan tokoh-tokoh
perempuan dengan segala permasalahan yang menjadi beban mereka.
Sehingga terciptalah konflik. Tentunya
dengan berbagai perspektif, praduga dan pendirian-pendirian sang pengarang.
Tentu saja tidak ada analisis sosial yang bebas nilai. “Aku ingin diriku
sendirilah yang menjadi kitab” (hal 31).
Keseharian orang-orang yang
mempersetankan agama dengan segala aturannya cenderung menjadi naif, karena
pada saat yang sama mereka adalah pemuja alam semesta dengan segala
konsekuensinya.
Logika yang coba dibangun dalam karakter
tokoh-tokoh sering kali menyajikan kontroversi pemahaman. Pada saat bersamaan
seorang ateis sekaligus menjadi animis sejati karena mereka mempercayai roh-roh
dan dukun-dukun (hal 33). Hal ini digambarkan dengan tepat oleh pengarang.
Membaca TANHA perlu keseriusan untuk
bisa mengupas di balik simbol-simbol yang dihadirkan. (*)
Penulis adalah peminat sastra, tinggal
di Surabaya, salah satu pemenang sayembara novel DKJ tahun 1998.
.
No comments:
Post a Comment