peluang

Wednesday, May 29, 2013

Teori Kepribadian Abraham Maslow



Teori Kepribadian Abraham Maslow

Maslow dilahirkan pada tahun 1908 di Brooklyn, New York. Dia anak sulung dari tujuh bersaudara. Pada waktu itu Maslow berusia 14 tahun, orang tuanya berimigrasi dari Rusia menuju Amerika Serikat. Dalam perjalanan hidupnya, Maslow berkembang dalam iklim keluarga yang kurang menyenangkan. Dia merasa bahagia dan terisolasi, karena orang tuanya tidak memberikan kash sayang, ayahnya bersikap dingin dan tidak akrab, dan sering tidak ada di rumah dalam waktu yang cukup lama. Ibunya seorang yang sangat dipercaya akan takhayul, yang sering mengkuhum Maslow gara-gara salah kecil saja. Dia membenci, menolak dan lebih mencintai saudaranya daripada mencintai Maslow.
Pada suatu hari, Maslow membawa dua anak kucing yang tersesat, ibunya membunuh kedua kucing tersebut, kemudian ibunya menampar dan membenturkan kepala Maslow ke tembok. Perlakuan ibunya kepada Maslow memberikan dampak yang serius bagi dirinya, tidak hanya kepada kehidupan emosionalnya, tetapi juga pada pekerjaannya dalam psikologi.
  1. Hirarki Kebutuhan
Maslow berpendapat bahwa motivasi manusia diorganisasikan ke dalam sebuah hirarki kebutuhan, yaitu suatu susunan kebutuhn yang sistematis, suatu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum kebutuhan dasar lainnya muncul. Kebutuhan ini bersifat instinktif yang mengaktifkan atau mengarahkan perilaku manusia. Meskipun kebutuhan itu bersifat instinktif, namun perilaku yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tersebut sifatnya dipelajari, sehingga terjadi variasi perilaku dari setiap orang dalam cara memuaskannya. Kebutuhan itu mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut.

1)      Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan manusia yang paling dasra, kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan akan makanan, minuman , seks, istirahat (tidur), dan oksigen. Maslow mengemukakan bahwa manusia adalah binatang yang berhasrat dan jarang mencapai taraf kepuasan yang sempurna, kecuali untuk suatu saat yang terbatas. Apabila suatu hasrat itu telah terpuaskan, maka hasrat lain muncul sebagai pengggantinya.

2)      Kebutuhan Rasa Aman
Kebutuhan ini sangat penting bagi setiap orang, baik anak, remaja, maupun dewasa. Pada anak kebutuhan akan rasa aman ini nampak dengan jelas, sebab mereka suka mereaksi secara langsung terhadap sesuatu yang mengancam dirinya. Agar kebutuhan anak akan rasa aman ini terpenuhi, maka perlu diciptakan iklim kehidupan yang memberi kebebasan untuk berekspresi. Namun pemberian kebebasan untuk berekspresi atau berperilaku itu perlu bimbngan dari orang tua, karena anak belum memiliki kemampuan untuk mengarahkan perilakunya secara tepat dan benar. Pada orang dewasa, kebutuhan ini memotivasinya untuk mrncari kerja, menjadi peserta asuransi, atau menabung uang. Orang dewasa yang sehat mentalnya, ditandai dengan perasaan aman, bebas dari rasa takut dan cemas. Sementara yang tidak sehat ditandai dengan perasaan seolah-olah selalu dalam keadaan terancam bencana besar.
3)      Kebutuhan Pengakuan dan Kasih Sayang
Apabila kebutuhan fisiologis dan rasa aman sudah terpenuhi, maka individu mengembangkan kebutuhan untuk diakui dan disayangi atau dicintai. Kebutuhan ini dapat diekspresikan dalam berbagai cara, seperti: persahabatan, percintaan, atau pergaulan yang lebih luas. Melalui kebutuhan ini seseorang mencari pengakuan, dan curahan kasih sayang dari orang lain, baik dari orang tua, saudara, guru, pimpinan, teman, atau orang dewasa lainnya.
Kebutuhan untuk diakui lebih sulit untuk dipuaskan pada suasana masyarakat yang mobilisasinya sangat cepat, terutama di kota besar, yang gaya hidupnya sudah bersifat individualistik. Hidup bertetangga, aktif di organisasi, atau persahabatn dapat memberikan kepuasan akan kebutuhan ini.
Kebutuhan kan kasih sayang, atau mencintai dan dicintai dapat dipuaskan melalui hubungan yang akrab dengan orang lain. Maslow membedakan antara cinta dengan seks, meskipundiakuinya bahwa seks merupakan salah satu cara pernyataan kebutuhan cinta. Dia sepentapat dengan Rogers yaitu: keadaan dimengerti secara mendalan dan diterima dengan sepenuh hati. Maslow berpendapat bahwa kegagalan dalam mencapai kepuasan kebutuhan cinta atau kasih sayang merupakan penyebab utama dari gangguan emosional atau maladjustment.
4)      Kebutuhan Pengahrgaan
Jika seseorang telah merasa dicintai atau diakui, maka orang itu akan mengembangkan kebutuhan perasaan berharga. Kebutuhan ini meliputi dua kategori, yaitu: (a) harga diri meliputi kepercayaan diri, kompetensi, kecukupan, prestasi, dan kebebasan; (b) penghargaan dari orang lain meliputi pengakuan, perhatian, prestise, respek, dan kedudukan (status).  Memperoleh kepuasan dari kebutuhan ini memunhkinkan individu memiliki rasa perccaya diri akan kemampuan dan penampilannya; menjadi lebih kompeten; dan produktif dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan dalam memperoleh kepuasan atau mengalami lack of self-esteem maka dia akan mengalami rendah diri,tidak berdaya, tidak bersemangat, dan kurang percaya diri terhadap kemampuannya untuk mengetasi masalah kehidupan yang dihadapinya.
5)      Kebutuhan Kognitif
Secara alamiah manusia memiliki hasrat ingin tahu (memperoleh pengetahuan, atau pengalaman tentang sesuatu). Hasrat ini mulai berkembang sejak akhir usia bayi dan awal masa anak, yang diekspresikan sebagai rasa ingin tahunya dalam bentuk pengajuan pertanyaan tentang berbagai hal, baik diri maupun lingkungannya. Rasa ingin tahu ini biasanya terhambat perkembangannya oleh lingkungan, baik kkeluarga maupun sekolah. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan ini akan menghambat pencapaian perkembangan kepribadian secara penuh. Menurut Maslow, rasa ingin tahu ini merupakan cirri mental yang sehat. Kebutuhan kognitif ini diekspresikan sebagai kebutuhan untuk memahami, menganalisis, mengevaluasi, menjelaskan, mencari sesuatu atau suasana baru dan meneliti.
6)      Kebutuhan Estetika
Kebutuhan estetik (order and beauty) merupakan cirri orang yang sehat mentalnya. Melalui kebutuhan inilah manusia dapat mengembangkan kretivitasnya dalam bidang seni (lukis, rupa, patung, dan grafis), arsitektur, tata busana, dan tata rias. Di samping itu orang yng sehat mentalnya ditandai dengan kebutuhan keteraturan, keserasian, atau keharmonisan dalam setiap aspek kehidupannya, seperti dalam cara berpakaian (rapi dengan keterpaduan warna yang serasi), dan pemeliharaan ketertiban lalu lintas. Orang yang kurang sehat mentalnya, atau sedang mengalami gangguan emosional, dan stress biasanya kurang memeperhatikan kebersihan, dan kurang apresiatif terhadap keteraturan dan keindahan.
7)      Kebutuhan Aktualisasi Diri
Kebutuhan ini merupakan puncak dari hirarki kebutuhan manusia yaitu perkembangan atau perwujudan potensi dan kapasitas secara penuh. Maslow berpendapat bahwa manusia dimotivasi untuk menjadi segala sesuatu yang dia mampu untuk menjadi itu. Walaupun kebutuhan lainnya terpenuhi, namun apabila kebutuhan katualisasi diri tidak terpenuhi, tidak mengembangkan atau tidak mampu menggunakan kemampuan bawaannya secara penuh, maka seseorang akan mengalami kegelisahan, ketidaktenangan, atau frustasi.
  1. Kepribadian yang Sehat
Maslow berpendapat bahea seseorang akan memiliki kepribadian yang sehat, apabila dia telah mampu untuk mengaktualisasikan  dirinya sebagai dirinya secara penuh (self-actualizing person). Dia mengemukakan teori motivasi bagi self-actualizing person dengan nama metemotivation, meta-needs, B-motivation, atau being values (kebutuhan untuk berkembang). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan dirinya tidak termotivasi untuk mengejar sesuatu (tujuan) yang khusus, mereduksi ketenangan, atau memuaskan suatu kekurangan. Mereka secara menyeluruh tujuannya akan memperkaya, memperluas kehidupannya dan mengurangi keterangan melalui bermacam-macam pengalaman yang menantang. Dia berusaha untuk mengembangkan potensinya secara maksimal, dengan memperhatikan lingkungannya. Dia juga berada dalam keadaan  menjadi yaitu spontan, alami, dan senang mengekspresikan potensinya secara penuh.
Sementara motivasi bagi orang yang tidak mampu mengaktualisasikan dirinya, dia dinamai D-motivation atau Deficiency. Tipe motivasi ini cenderung mengejar hal yang khusus untuk memenuhi kekurangan dalam dirinya, seperti mencari makanan untuk memenuhi rasa lapar. Ini berarti bahwa kebutuhan khusus (lapar) untuk tujuan yang khusus (makanan) menghasilkan motivasi untuk memperoleh sesuatu yang dirasakannya kurang (mencari makanan). Motif ini tidak hanya berhubungan dengan kebutuhan fisiologis, tetapi juga rasa aman, cinta kasih, dan penghargaan.
Terkait dengan metaneeds, Maslow selanjutnya mengatakan bahwa kegagaln dalam memuaskannya akan berdampak kurang baik bagi individu, sebab dapat menggagalkan pemuasan kebutuhan yang lainnya, dan juga melahirkan metapatologi yang dapat merintangi perkembangannya. Metapatologi merintangi self-actualizers untuk mengekspresikan, menggunakan, memenuhi potensinya, merasa tidak berdaya, dan depresi. Individu tidak mampu mengidentifikasi sumber penyebab khusus dari masalah yang dihadapinya dan usaha untuk mengatasinya.
Mengenai self-actualizing person, atau orang yang sehat mentalnya, Maslow mengemukakan cirri-cirinya sebagai berikut.
1)      Mempersepsi kehidupan atau dunianya sebagaimana apa adanya, dan merasa nyaman dalam menjalaninya.
2)      Menerima dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungannya.
3)      Bersikap mandiri atau independent.
4)      Memiliki apresiasi yang segar terhadap linkungan di sekitarnya.
5)      Memiliki minat social: simpati, empati, dan altruis.
6)      Bersikap demokratis (toleran, tidak rasialis, dan terbuka).
7)      Kreatif (fleksibel, spontan, terbuka, dan tidak takut salah).

Pandangannya terhadap hakikat manusia, Maslow berpendapat bahwa manusia itu bersifat optimistik, bebas berkahendak, sadar dalam memilih, unik, dapat mengatasi pengalaman masa kecil, dan baik. Menurut dia, kepribadian itu dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan peran lingkungan, khususnya sekolah dalam mengembangkan self-actualization, Maslow mengemukakan beberapa upaya yang seyogianya dilakukan oleh sekolah (dalam hal ini guru-guru) yaitu sebagai berikut.
1)      Membantu siswa dalam menemukan identitasnya (jati dirinya) sendiri.
2)      Membantu siswa untuk mengeksplorasi pekerjaan.
3)      Membantu siswa untuk memahami keterbatasan (nasib) dirinya.
4)      Membantu siswa untuk meperoleh pemahaman tentang nilai-nilai.
5)      Membantu siswa agar memahami bahwa hidup ini berharga.
6)      Mendorong siswa agar mencapai pengalaman puncak dalam kehidupannya.
7)      Memfasilitasi siswa agar dapat memuaskan kebutuhan dasarnya (rasa aman, rasa berharga, dan rasa diakui).


LAHIRNYA BK POLA 17 PLUS
Sejak tahun 1993 penyelenggaraan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK) memperoleh perbendaharaan istilah baru yaitu BK Pola-17. Hal ini memberi warna tersendiri bagi arah bidang, jenis layanan dan kegiatan pendukung BK di jajaran pendidikan dasar dan menengah. Pada Abad ke-21, BK Pola 17 itu berkembang menjadiBK Pola-17 Plus. Kegiatan BK ini mengacu pada sasaran pelayanan yang lebih luas, diantaranya mencakup semua masyarakat.
Layanan konsultasi merupakan salah satu jenis layanan dari BK Pola-17 Plus. Layanan konsultasi dan layanan mediasi merupakan layanan hasil pengembangan dari BK Pola 17 Plus. Dengan adanya pengembangan layanan ini, maka layanan konsultasi dan layanan mediasi secara otomatis menjadi bidang tugas konselor dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling, khususnya pelayanan BK di sekolah.
Menurut Prayitno (2004: i-ii) butir-butir pokok BK Pola-17 Plus adalah sebagai berikut:
A. Keterpaduan mantap tentang pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas, serta landasan BK
B. Bidang Pelayanan BK, meliputi:
B.1. Bidang pengembangan pribadi
B.2. Bidang pengembangan social
B.3. Bidang pengembangan kegiatan belajar
B.4. Bidang pengembangan karir
B.5. Bidang pengembangan kehidupan berkarya
B.6. Bidang pengembangan kehidupan keberagamaan
C. Jenis layanan BK, meliputi:
L.1. Layanan Orientasi
L.2. Layanan Informasi
L.3. Layanan Penempatan dan Penyaluran
L.4. Layanan Penguasaan Konten
L.5. Layanan Konseling Perorangan
L.6. Layanan Bimbingan Kelompok
L.7. Layanan Konseling Kelompok
L.8. Layanan Konsultasi
L.9. Layanan Mediasi
D. Kegiatan pendukung BK, meliputi:
P.1. Aplikasi Instrumentasi
P.2. Himpunan Data
P.3. Konferensi Kasus
P.4. Kunjungan Rumah
P.5. Alih Tangan Kasus
E. Format pelayanan:
1. Format Individual
2. Format Kelompok
3. Format Klasikal
4. Format Lapangan
5. Format ”Politik”
Selain itu ada juga yang menambahkan pola 17 plus adalah sebagai berikut:
BK Pola 17 Plus
• Bidang: Pribadi, Sosial, Belajar, Karir, Kehidupan keluarga, Kehidupan beragama
• 7 jenis layanan: Orientasi, Informasi, Pencapaian penyaluran, Penguasaan konten, Konseling kelompok, Bimbingan kelompok, Konseling individual, Konsultasi, Mediasi
• Daya dukung: Instrumen, Himpunan data, Tampilan kepustakaan, Referal / Alih Tangan, Home Visit, Konfrensi kasus
Melihat uraian tentang BK Pola-17 Plus, pada penelitian ini hanya membatasi sesuai dengan judul penelitian. Peneliti hanya menguraikan salah satu jenis layanan BK yaitu layanan konsultasi.
Layanan Konsultasi BK
Menurut Prayitno (2004: 1), ”layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor terhadap pelanggan (konsulti) yang memungkinkan konsulti memperoleh wawasan, pemahaman dan cara yang perlu dilaksanakan untuk menangani masalah pihak ketiga”. Konsultasi pada dasarnya dilaksanakan secara perorangan dalam format tatap muka antara konselor (sebagai konsultan) dengan konsulti. Konsultasi dapat juga dilakukan terhadap dua orang konsulti atau lebih kalau konsulti- konsulti itu menghendakinya.
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 6) dijelaskan bahwa ”layanan konsultasi yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik”.
Dalam program bimbingan di sekolah, Brow dkk (dalam Marsudi, 2003: 124) menegaskan bahwa ’konsultasi itu bukan konseling atau psikoterapi sebab konsultasi tidak merupakan layanan yang langsung ditujukan kepada siswa (klien), tetapi secara tidak langsung melayani siswa melalui bantuan yang diberikan oleh orang lain’.
Layanan konsultasi juga didefinisikan bantuan dari konselor ke klien dimana konselor sebagai konsultan dan klien sebagai konsulti, membahas tentang masalah pihak ketiga. Pihak ketiga yang dibicarakan adalah orang yang merasa dipertanggungjawabkan konsulti, misalnya anak, murid atau orangtuanya. Bantuan yang diberikan untuk memandirikan konsulti sehingga ia mampu menghadapi pihak ketiga yang dipermasalahkannya (http://konseling indonesia.com).
Dari beberapa pengertian, dapat disimpulkan penulis bahwa layanan konsultasi adalah layanan konseling oleh konselor sebagai konsultan kepada konsulti dengan tujuan memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan konsulti dalam rangka membantu terselesaikannya masalah yang dialami pihak ketiga (konseli yang bermasalah). Pada layanan konsultasi, dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap konsultasi yang dilakukan oleh konselor kepada konsulti, dan tahap penanganan yang dilakukan oleh konsulti kepada konseli/pihak ketiga. Maka petugas pada tahap konsultasi adalah konselor, sedangkan petugas pada tahap penanganan adalah konsulti.
Komponen Layanan Konsultasi BK
Dari definisi layanan konsultasi, dijelaskan bahwa dalam proses konsultasi akan melibatkan tiga pihak, yaitu konselor, konsulti, dan pihak ketiga/konseli. Hal ini seperti pendapat Dougherty (dalam Sciarra, 2004: 55) ’consulting is tripartite: it involves a consultant, a consultee, and a client’ (Berkonsultasi meliputi tiga pihak yaitu melibatkan seorang konsultan, konsulti, dan konseli). Ketiga pihak ini disebut sebagai komponen layanan konsultasi. Ketiga komponen layanan konsultasi tersebut menjadi syarat untuk menyelenggarakan kegiatan layanan. Dijelaskan oleh Prayitno (2004: 3-4), bahwa:Konselor adalah tenaga ahli konseling yang memiliki kewenangan melakukan pelayanan konseling pada bidang tugas pekerjaannya. Sesuai dengan keahliannya, konselor melakukan berbagai jenis layanan konseling, salah satu diantaranya adalah layanan konsultasi; Konsulti adalah individu yang meminta bantuan kepada konselor agar dirinya mampu menangani kondisi dan atau permasalahan pihak ketiga yang (setidak-tidaknya sebahagian) menjadi tanggung jawabnya. Bantuan itu diminta dari konselor karena konsulti belum mampu menangani situasi dan atau permasalahan pihak ketiga itu; Pihak ketiga adalah individu (atau individu-individu) yang kondisi dan atau permasalahannya dipersoalkan oleh konsulti. Menurut konsulti, kondisi/ permasalahan pihak ketiga itu perlu diatasi, dan konsulti merasa (setidak-tidaknya ikut) bertanggung jawab atas pengentasannya.
Marsudi (2003: 124-125) menyebutkan bahwa layanan konsultasi mengandung beberapa aspek, yaitu:
(1) Konsultan, yaitu seseorang yang secara profesional mempunyai kewenangan untuk memberikan bantuan kepada konsulti dalam upaya mengatasi masalah klien.

(2) Konsulti, yaitu pribadi atau seorang profesional yang secara langsung memberikan bantuan pemecahan masalah terhadap klien.
(2) Klien yaitu pribadi atau organisasi tertentu yang mempunyai
masalah.
Konsultasi merupakan proses pemberian bantuan dalam upaya
mengatasi masalah klien secara tidak langsung.
Dalam layanan konsultasi ini dapat diperjelas bahwa penanganan masalah yang dialami konseli (pihak ketiga) dilakukan oleh konsulti. Konsulti akan dikembangkan kemampuannya oleh konselor pada saat tahap konsultasi berlangsung, yaitu mengembangkan pada diri konsulti tentang wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap. Akhir proses konsultasi ini adalah konselor menganggap bahwa konsulti mampu membantu menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga yang setidaknya menjadi tanggung jawabnya.
Konsulti adalah orang yang ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dialami pihak ketiga. Misalnya orang tua, guru, kepala sekolah, kakak, dan sebagainya. Seorang konsulti harus bersedia membantu penyelesaian masalah pihak ketiga. Menurut Sciarra (2004: 55) “also, collaboration between consultant and consultee is especially important in the school setting because it eases the burden on the consultant” (kerjasama antara konsultan dan konsulti menjadi yang terpenting di sekolah sebab dapat meringankan beban konsultan).
Posted by »Sefrian®
0 comments:
Poskan Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan kalau mau bertanya, saran, atau apapun mohon lebih baik sertakan nama dan alamat email, sebaiknya jangan memakai Anonymous Users
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Ada kesalahan di dalam gadget ini

• Follow Us on Twitter!
• "Join Us on Facebook!
• RSS
Con
MEMAHAMI INDIVIDU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING (Kajian Lintas Budaya Hubungan Konsleor-Konseli)
MEMAHAMI INDIVIDU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
(Kajian Lintas Budaya Hubungan Konselor-Konseli)[1]
Drs. Susilo Rahardjo, M.Pd. [2]

A.  Pendahuluan
Pelayanan bimbingan dan konseling adalah tindakan yang sifat dan arahnya menuju kepada kondisi lebih baik yang membahagiakan bagi pihak yang dilayani (konseli). Dengan kata lain, orang yang sedang dilayani memiliki prospek untuk menjadi lebih baik, lebih bahagia.
Bimbingan dan konseling merupakan profesi yang tidak netral; pelaksanaannya  tidak  murni bersifat teknis. Ada  muatan  nilai, artinya  dalam menjalankan tugas profesionalnya  konselor  mesti mempertimbangkan faktor nilai demi keefektifan layanan bantuannya itu. Faktor tersebut tidak saja menyangkut konseli tetapi juga konselor,  bahkan  menyangkut  pihak  yang  lebih  luas, yaitu masyarakat yang melatarbelakangi keduanya.
Peayanan bimbingan dan konseling sering disebut bantuan psikologis, yang berarti bahwa pelaksanaan teknik-teknik  bantuan untuk  pengembangan insani itu didasarkan pada konsep-konsep, kaidah-kaidah, azas-azas, dan prosedur-prosedur psikologi.  Pada latar  sekolah, pelaksanaan bimbingan dan konseling  mengandung banyak segi yang menyangkut siswa/konseli selaku pihak utama, yaitu yang  menjadi pusat perhatian dan sasaran bantuan,  di  samping konselor selaku pihak "pemberi bantuan". Segi-segi itu tidak saja bersifat psikologis   tetapi  juga  sosiologis   dan kultural (Munandir,  1995). Sehubungan dengan hal tersebut, di sini penulis hendak membahas perkembangan bimbingan dan konseling selaku profesi, faktor budaya dalam pelaksanaan tugas profesi itu, dan penerapan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
Oleh karena itu memahami konseli wajib hukumnya bagi seorang konselor sebelum, pada saat, dan sesudah proses pelayanan berlangsung. Memahami konseli bukan sekedar nama dan identitas lainnya, tetapi dalam arti yang luas adalah memahami seluruh latar belakang konseli termasuk budayanya.

B.  Perkembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Menurut Munandir (1995), selaku profesi, bimbingan dan konseling di  Indonesia lahir di tengah-tengah profesi lain yang lebih mapan, .... untuk ukuran Indonesia,  misalnya profesi kedokteran, guru.
Pada awalnya bimbingan dan konseling di Indonesia berkembang di sekolah. Hal ini berbeda dengan di Amerika Serikat yang justru berkembang di masyarakat, baru kemudian berkembang di lingkungan pendidikan sekolah. Di Indonesia sebelum adanya layanan bimbingan yang khusus, diasumsikan bahwa tugas bantuan kepada siswa yang mengalami masalah ini dirangkap oleh guru. Dengan makin beratnya beban tugas mengajar guru, guru tidak lagi bisa diharapkan mampu menangani semua urusan pendidikan, maka layanan khusus yang bertujuan memajukan kesejahteraan jiwa siswa menjadi kebutuhan mendesak. Inilah latar belakang kehadiran bimbingan dan konseling pada latar sekolah.
Bimbingan dan konseling di Amerika yang dirintis oleh Frank Parson pada tahun 1908 dengan mendirikan sebuah biro di Boston, hampir bersamaan waktunya Jesse B. Davis menjadi school counselor di Central High School di Detroit, Ellie Weaver di New York dan John Brewer di Harvard University. Sesuai dengan zaman itu, yakni dimulainya gerakan bimbingan vokasional di Amerika, konsep bimbingan pada waktu itu lebih ditekankan pada vocational guidance sebagai sarana untuk suksesnya penyaluran jabatan, sifatnya lebih ke arah distributif dan determinatif.
Sejak itu bimbingan dan konseling berkembang pesat di Amerika, dan pada akhir tahun 1950-an masuk ke Indonesia. Abdulkahar (1978) menjelaskan, bahwa bimbingan dan konseling yang teratur dan teroganisir dimulai pada tahun 1958 di SMA Teladan Yogyakarta yang dipimpin oleh Drs. Tohari Musnamar. Ketika diadakan rapat kerja antara SMA-SMA Teladan seluruh Indonesia di Solo yang diselenggarakan oleh Urusan Pendidikan SMA PD dan K pada tanggal 6-13 Nopember 1961, bimbingan diterima dengan baik dan ditetapkan pada tiap-tiap SMA Teladan di Indonesia harus menyelenggarakan seksi khusus BP yang pada waktu itu Urusan Pendidikan SMA PD dan K dipimpin oleh M. Hutauruk, SH. SMA-SMA Teladan sebagai percontohan “bimbingan dan penyuluhan” yang selanjutnya  disebut bimbingan dan konseling itu ialah: SMA-B Medan, SMA-B Jakarta, SMA-C Surabaya, SMA-A Yogyakarta, dan kemudian ditambah beberapa SMA Teladan di kota yang lain misalnya di Kediri, di Malang, dan lain-lain.
Karena perkembangan dan kebutuhan bimbingan dan konseling sangat dibutuhkan oleh sekolah, maka kemudian dibuka jurusan “bimbingan dan penyuluhan” di sejumlah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ---dalam tahun 1960-an masih merupakan bagian dari universitas--- dengan tujuan mendidik tenaga bimbingan (konselor sekolah). Waktu itu, sampai awal 1960-an, FKIP bersifat umum, hanya mendidik calon guru bidang studi, program pendidikan baru sampai jenjang sarjana muda, yang tiga tahun lamanya.
Dunia pendidikan di Indonesia mengalami perubahan besar sejak pertengahan dasa warsa 60-an. Karena tuntutan pembangunan, juga karena perubahan masyarakat yang terjadi seiring dengan pembangunan itu, maka dilakukan usaha-usaha untuk menyerasikan pendidikan sesuai dengan keadaan dan perkembangan yang terjadi. Dalam rangka ini pada paruh pertama dasa warsa 70-an didirikan delapan “Sekolah Pembangunan”, yang disebut PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) dan delapan “STMP” (STM Pembangunan). Sekolah-sekolah lain berjalan menurut sistem yang berlaku seperti biasanya, tetapi dengan kurikulum baru yaitu kurikulum 1975. Inilah untuk pertama kali bimbingan, atau lengkapnya bimbingan dan konseling ditetapkan secara resmi sebagai bagian dari sistem kurikulum sekolah, dari jenjang TK/SD sampai dengan SLTA, baik jenis sekolah umum maupun sekolah kejuruan. Namun, bagaimana perkembangan sekolah pembangunan ---dan sistem pendidikan pembangunan--- tersebut selanjutnya tidak bisa dikatakan secara pasti. Tetapi yang nyata, PPSP dan STMP, tidak kelihatan berjalan dan tidak disebut-sebut lagi dalam dasa warsa 80-an.
Seiring dengan pembaharuan kurikulum, dilakukan usaha-usaha peninjauan sistem pendidikan guru. Dalam rangka PPSPTK (Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan) tersusunlah kurikulum baru ---Kurikulum Landasan Kompetensi--- dan berlaku untuk IKIP/LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) secara rasional dalam tahun 1982. Termasuk yang ditinjau dan diperbarui adalah Kurikulum Pendidikan Konselor. Di dalam sistem pendidikan guru/tenaga pendidikan tersebut, dinyatakan pula bahwa bimbingan dan konseling merupakan salah satu unsur kompetensi dasar keguruan. Demikianlah sehingga mahasiswa LPTK semua jurusan/program studi mempelajari bimbingan dan konseling sebagai mata kuliah wajib (MKDK).
Peristiwa penting lain dalam sejarah perkembangan pendidikan dan bimbingan di Indonesia adalah berdirinya sebuah organisasi profesi bimbingan bernama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) di Malang tahun 1975 (Panitia Konvensi Nasional Bimbingan ke-1 tanggal 17 Desember1975). Berturut-turut setelah itu berdiri anak-anak organisasi (Divisi IPBI), yaitu IPKON (Ikatan Pendidik Konselor Indonesia di Malang tahun 1991), IGPI (Ikatan Guru Pembimbing Indonesia di Jakarta tahun 1992), ISKIN (Ikatan Sarjana Konseling Indonesia di Semarang tahun 1992), dan IDPI (Ikatan Dosen Pembimbing Indonesia di Solo tahun 1994) dengan program-program kegiatannya antara lain, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan profesional (Konvensi, Seminar, Lokakarya) dan organisasi yang bertujuan memajukan bimbingan dan konsleing sebagai ilmu dan profesi. IPBI dan divisi-divisinya juga terlibat di dalam penyusunan kurikulum program bimbingan di LPTK.
Salah satu sumbangan penting IPBI di dunia pendidikan adalah ikut membantu keluarnya SK Menpan Nomor 84/1993 sebagai SK Menpan Nomor 26/1989 tentang status kepegawaian tenaga bimbingan. Dengan SK 84/1993 pekerjaan guru pembimbing ---istilah birokrasi untuk konselor sekolah--- ditegaskan sebagai pekerjaan yang terpisah dari pekerjaan guru mata pelajaran, guru kelas, dan guru praktek. Menurut peraturan sebelumnya, uraian tugas bimbingan dan pengajaran menjadi satu, sehingga menimbulkan kekaburan pengertian dan kerancuan pelaksanaannya di sekolah-sekolah.
Kurikulum 1975 (dan Kurikulum 1976 untuk Sekolah Menengah Teknologi-Kejuruan) diikuti dengan berlakunya Kurikulum 1984 dan terakhir Kurikulum 1994. Di dalam kurikulum-kurikulum itu bimbingan selalu disebut merupakan bagian dari sistem kurikulum. Di dalam kurikulum 1984 bimbingan mendapat wataknya yang khusus, yaitu bimbingan karier, khususnya untuk SMA dan sekolah kejuruan. Dengan pergantian-pergantian kurikulum, dan dengan ketentuan-ketentuan birokrasi berupa SK Menpan yang disebut di atas, serta peraturan-peraturan perundang-undangan, khususnya PP Nomor 27, 28, 29 dan 30 tahun 1990, maka kedudukan bimbingan sebagai bentuk layanan bantuan bagi kesejahteraan siswa makin mantap, di semua jenis dan jenjang sekolah, dari jenjang Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi.
Dengan adanya perundang-undangan dan peratauran-peraturan pemerintah tersebut di atas, dimulailah periode Bimbingan dan Konseling Pola 17 (BK Pola 17) yang disebarkan melalui para konselor dari seluruh Indonesia yang diundang untuk mengikuti pelatihan nasional di Parung Bogor. Melalui konselor inilah –yang kemudian ditugaskan sebagai instruktur BK di Propinsi dan kabupaten– bimbingan dan konseling semakin eksis karena berada dalam satu kaidah yang terpola mulai dari wawasan ke-BK-an, bidang pelayanan BK, jenis layanan, dan kegiatan pendukung pelayanan BK.
Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah. Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak dari kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program S-1 Bimbingan dan Konseling mulai tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah menengah di tanah air juga tidak mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut. Sesuai arahan, masing-masing sekolah menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling setelah dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut Guru Pembimbing.
Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Bandarlampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).
Pada tahun 2003 diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat (6), akan tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya. Pasal 39 ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik pada perguruan tinggi”, meskipun tugas “melakukan pembimbingan” yang tercantum sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas guru, sehingga tidak dapat secara sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas konselor. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi Kinerja Konselor. Oleh karena itu, upaya dan kerja keras ABKIN sebagai organisasi profesi pada akhirnya membuahkan hasil dengan usulannya yang kemudian ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Inodnesia Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor (SKAKK).
Peraturan Menteri tersebut di atas mengokohkan posisi konselor di sekolah karena tugas konselor sangat jelas yaitu berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal.
Dalam pada itu makin jelas pula kualifikasi akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal (Departemen Pendidikan Nasional. 2008) adalah:
1. Sarjana pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling.
2. Berpendidikan profesi konselor.
Hal ini mengandung implikasi bahwa selain Sarjana S-1 Bimbingan dan Konseling tidak memiliki kewenangan untuk menjadi konselor di sekolah yang terikat dengan 17 kompetensi konselor yang meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional; di mana sarjana lain tidak memiliki kompetensi tersebut.
C.  Faktor Budaya Dalam Pelaksanaan Tugas Profesi Bimbingan dan Konseling
1. Budaya Nasional
Budaya tidak diberi pembatasan sepenuhnya sama  bagi  para ahli  ilmu sosial. Agaknya, terdapat variasi-variasi maknanya bergantung pada cabang ilmu sosial asal pembatasan itu dirumuskan.
Kluckhohn, (1962, dalam Rosyidan , 1995)  membuat  batasan budaya sebagai berikut :
Budaya  terdiri  dari berbagai  pola  tingkah-laku, eksplisit  dan implisit, dan pola tingkah-laku  itu diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya  khusus kelompok-kelompok  manusia,  termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide-ide tradisional, terutama  nilai-nilai yang melekatknya; sistem  budaya pada  satu sisi dapat dipandang sebagai hasil  perbuatan, pada  sisi  lain,  sebagai  pengaruh  yang menentukan perbuatan-perbuatan selanjutnya.

Bimbingan  dan konseling sebagai suatu ilmu,  mengandung  dua hal pokok, yaitu yang berangkutan dengan  konsep dan  implementasi  konsep. Selama ini, baik pada  tingkat konsep maupun pada tingkat implementasi bimbingan dan konseling yang kita lakukan pada dasarnya banyak  menggunakan hasil pikiran dunia Barat, tempat bimbingan dan  konseling formal mulai tumbuh, sebagaimana sudah disebutkan di atas. Sudah  barang  tentu,  buah pikiran  yang  dihasilkan  itu sangat  dipengaruhi oleh latar belakang  sosial,  ekonomi, dan corak budaya atau nilai-nilai masyarakat Barat. Dengan kata lain, bimbingan dan konseling sebagai ilmu mengandung muatan nilai-nilai budaya tertentu.
Indonesia, sebagai negara dan bangsa, mempunyai corak budaya dengan nilai-nilai yang bersifat universal dan yang bersifat   unik.   Universal  artinya   nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh segenap manusia, nilai-nilai  budaya unik  ialah  nilai-nilai yang khas bagi kelompok manusia –atau bangsa  Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dengan nilai-nilai budaya yang majemuk  pula, yang selanjutnya setelah  bangsa  Indonesia merdeka,   berbagai   nilai-nilai  majemuk itu telah diintisarikan  menjadi nilai-nilai budaya  nasional,  yang menjadi  pandangan hidup bangsa, yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila sebagai pegangan dalam kehidupan bermasyarakat   dan   bernegara. Kegiatan   pendidikan, termasuk  kegiatan bimbingan dan konseling  di  Indonesia, dapat  dimasukkan  ke dalam  kehidupan bernegara,  yaitu kegiatan  yang bertujuan tidak hanya  untuk  mengembangkan potensi individu yang optimal sesuai dengan minat,  irama, dan  kemampuan masing-masing tetapi juga  bertujuan  untuk pengembangan  daya manusia Indonesia yang bermutu tinggi dan  pembentukan  warga  negara yang  tahu  dan  menyadari segala hak dan kewajiban dalam negara  kesatuan  Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi mengembangkan bimbingan dan konseling di Indonesia hendaknya memasukkan unsur-unsur budaya nasional ke dalam konsep-konsep  dasar bimbingan dan konseling.

2. Budaya Daerah
Kebudayaan  nasional sebagaimana diuraikan  di  atas, terbentuk  dari kebudayaan-kebudayaan daerah.  Karena  itu  hendaklah dipandang dengan wawasan integralistik atau  secara  keseluruhan.  Yang  dimaksud  dengan   integralistik adalah menjadikan semua kebudayaan daerah  sebagai  suatu kesatuan  pandangan. Harapan itu didukung  oleh  kenyataan bahwa  semua kebudayaan daerah memberikan sumbangan bagi terwujudnya  kebudayaan nasional; serta mempunyai  potensi untuk berkembang sendiri. Lain dari pada itu terdapat pula suatu asas yang menyatakan bahwa kebudayaan nasional itu  pada hakekatnya  adalah  puncak-puncak kebudayaan daerah. Dengan  demikian  dalam lingkup  yang  lebih  sempit, kebudayaan  daerah ini pun harus dipertimbangkan dalam menyusun konsep-konsep dan praktek pelayanan bimbingan dan konseling di lapangan. Sebab lingkungan daerah  yang berbeda,  mempunyai nilai-nilai yang berbeda dengan  lingkungan daerah yang lain.
Barnadib  (1995)  misalnya,   mengilustrasikan budaya Jawa dalam bimbingan dan konseling. Dengan mengutip pendapat  Sujamto,  dikatakan bahwa orang Jawa  itu dalam religiusitas  mempunyai  tanda yang  disebut  momot.  Yang dimaksud   tidak lain adalah  sifat  akomodatif,   yaitu semangat yang mau mengakui dan menghayati kebenaran sejati dari manapun sumbernya. Berhubung dengan adanya  semangat keagamaan ini, pemahaman tentang keagamaan lebih masuk  ke dalam hati dari pada ke dalam rasio. Sesama  manusia dipandang ada kesamaan batin, maka,  antar sesama saling mencari kesejukan lahir dan batin. Berhubung dengan  itu pula pergaulan antar sesama  diusahakan  agar terhindar   dari  pendekatan-pendekatan   yang   bersifat doktriner atau dogmatis.
Sifat kedamaian itu juga diusahakan berlangsung  bila terjadi  proses mempengaruhi orang lain, yang  diibaratkan sebagai  memancing ikan hingga berhasil tetapi  diusahakan agar  airnya  tidak keruh (kena iwake nanging  ora  buthek banyune).  Dengan demikian kedua belah pihak  merasa  enak dalam saling memberi dan saling menerima.
Berhubung dalam pergaulan perlu diusahakan  kedamaian dan  terhindar  dari suasana  tegang,  lebih-lebih  sampai terjadi  kekerasan, maka semua fihak diharapkan memahami dan  melaksanakan  falsafah Jawa yang penulis  kutip  dari berbagai sumber, sebagai referensi  dalam  berkomunikasi dengan orang lain (bimbingan dan konseling pada hakekatnya adalah  kegiatan berkomunikasi dengan orang  lain), yaitu sebagai berikut :
1)      tanggap  ing sasmita, yaitu mengetahui dan  mengerti adanya isyarat-isyarat
2)      tumeka  ing  rasane, yaitu sampai  kepada  kesadaran batin  tentang  boleh tidaknya, wajar,  sopan  atau tidaknya, untuk dilaksanakan
3)      ewuh pakewuh, yaitu sikap untuk mempertimbangkan dan berpikir secara matang dan mendalam apakah perbuatan  yang akan dilakukannya itu dapat berkenan  bagi orang lain.
4)      lamun sira banter aja nglancangi, lamun sira landhep aja  natoni,  lamun sira mandi  aja  mateni,  yaitu sikap pengendalian diri agar seseorang yang mempunyai kelebihan tidak menggunakan kelebihannya itu menyengsarakan orang  lain. Tepatnya, jika  kamu cepat  jangan  mendahuli, jika  kamu  tajam jangan melukai, jika kamu sakti jangan membunuh.
Dalam  budaya daerah lain juga dikenal  adanya  nilai dan  falsafah kehidupan sebagai pedoman  hidup  masyarakat setempat, dan konselor diharapkan dapat menyerap nilai dan falsafah  itu  dalam melaksanakan  layanan  bimbingan  dan konseling.

3. Sifat Kodrat Manusia
Konsep-konsep  dasar bimbingan dan  konseling  secara implisit  bertolak  dari pandangan mengenai  sifat  kodrat manusia.  Pada  umumnya,  pendekatan-pendekatan konseling secara eksplisit mulai kajiannya dengan asumsi-asumsi mengenai sifat kodrat manusia, disusun konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling lainnya.
Budaya  nasional  kita mempunyai  pandangan  mengenai sifat kodrat manusia, yaitu kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi, dan sekaligus makhluk sosial. Makhluk manusia itu bersifat homogen (selaku pribadi saja) –tetapi bersifat heterogen, dia selaku pribadi mandiri, tetapi sekaligus selaku anggota keluarganya, anggota kelompok sosialnya, anggota kelompok acuannya, dan anggota kelompok lainnya, dan selaku hamba Tuhan. Keberadaan dirinya selalu bersama dengan keberadaan orang lain. Hak azasi dan kewajiban azasi,  kebebasan   dan tanggung jawab tidak dapat masing-masing berdiri  dengan absolut, justru sifat absolutnya terletak pada keberadaan dirinya bersama dengan orang-orang lain.
Menurut ajaran Pancasila, agar bangsa Indonesia mewujudkan nilai dasar itu maka dituntut bagi setiap individu mengembangkan sikap pengendalian  diri,  yaitu mewujudkan  azas  keselarasan, keserasian,  dan keseimbangan antara dirinya dengan orang lain, antara hak azasi dan kewajiban azasinya, antara  kebebasan   dan   tanggung jawabnya.   Azas keselarasan, keserasian  dan keseimbangan ini tidak menunjuk pada satu titik yang tetap atau statis, tetapi azas ini selalu menunjuk  kepada titik posisi dalam kondisi  berubah  atau dinamis.

4. Konseling Lintas Budaya
Di depan sudah kita memahami apa itu bimbingan dan konseling, di mana pada akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menyebutnya sebagai konseling. Penggantian istilah bimbingan menjadi konseling sebenarnya sudah diusulkan oleh Belkin (1975, dalam Wibowo, 2002) di Amerika dengan istilah konseling praktis, yaitu proses konsleing yang menyeluruh, yang didasarkan atas filsafat dan kesadaran diri-sendiri yang mantap, yang dilaksanakan dengan keterlibatan penuh teerhadap keseluruhan perkembangan individu, yang meliputi wawancara tatap muka, kegiatan dalam suasana kelompok, pelayanan sekolah, program pengatasan masalah, kegiatan ekstra-kurikuler, pemberian informasi dan jabatan, dan kegiatan serta pelayanan lain yang menunjang perkembangan dan pemenuhan kebutuhan individu sebagai orang yang mampu berdiri sendiri. Namun demikian, di sekolah masih digunakan istilah bimbingan dan konseling. Dalam hal ini penulis cenderung tidak membedakan antara keduanya, pengertian konseling di dalamnya sudah mencakup bimbingan.
Munandir (2001) menjelaskan bahwa, konseling yang dijalankan di Indonesia, termasuk di latar sekolah, pelaksanaannya didasarkan pada teori-teori psikologi dan konseling Barat, khususnya Amerika. Di sekolah, para konselor, yang pada umumnya lulusan lembaga pendidikan tenaga keguruan, mendapati bahwa teori-teori konseling yang dipelajarinya waktu dalam pendidikan prajabatan tidak cocok diterapkan begitu saja di lapangan; mereka mengalami hambatan bahkan masalah dalam tugas profesionalnya. Ketidakcocokan dalam penerapan ini dapat dipahami karena isi kurikulum inti pendidikan konsleor dapat dikata sepenuhnya adalah teori-teori yang dikembangkan pada latar Barat/Amerika sedangkan latar penerapannya adalah kebudayaan kita, kebudayaan Timur.
Kebudayaan kita pun bukan merupakan suatu yang tunggal melainkan majemuk. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan penduduknya masing-masing yang menunjukkan adanya keberagaman kemasyarakatan dan kebudayaan. Masyarakat kita yang mempunyai nilai dan kebudayaan yang berbeda dengan Barat, bisa menjadi kendala dalam pelaksanaan konseling. Nilai-nilai yang menyangkut hal-hal seperti hormat kepada orang tua dan menyangkut hidup kekerabatan dan kekeluargaan, tabu, seks, keterbukaan atau pengungkapan diri (self-disclosure), adalah beberapa contoh mengenai perbedaan tajam budaya Timur-Barat. Masalah lain adalah bahwa di zaman informasi global ini batas-batas antarnegara, dan Timur-Barat, ini tidak nyata lagi.
Layanan konseling, menurut sifat hakikat dan landasan keilmuannya, adalah bantuan psikologis. Hakikat lain konsleing, yaitu ia sebagai layanan kemanusiaan, menjadikannya layanan yang sarat dengan muatan budaya. Di tempat asalnya yaitu Amerika, sudah sejak lama diketahui bahwa para konselor kulit putih mengalami kesulitan dalam memberikan pelayanan kepada orang kulit hitam, demikian pula dengan kelompok minoritas tertentu. Di sinilah diperlukannya konseling lintas budaya atau konseling multi budaya, ialah proses bantuan kemanusiaan pribadi yang memperhatikan bekerjanya factor budaya dan bagaimana bekerjanya faktor budaya ini untuk kelancaran proses bantuan dan untuk keberhasilan dalam pencapaian tujuannya, yaitu memajukan perkembangan kepribadian individu (Munandir, 2001).
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai-nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Oleh karena itu setiap konselor hendaknya memahami hal ini, sehingga dalam melakukan layanan konseling memperhatikan latar belakang budaya klien yang kemungkinan besar berbeda dengan budaya konselor.

D.  Penerapan  Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Yang Sesuai dengan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas budaya dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya dapat terjadi jika, sekedar contoh, konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Jawa memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Pasundan.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas budaya dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama, dan masyarakat yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari Kudus memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Kudus pula, mereka sama-sama berasal dari suku atau etnis Jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar dalam berbagai hal antara orang Jawa Kudus yang berasal dari Kota dengan orang Jawa Kudus yang berasal dari Dawe, Undaan, Jekulo dan kecamatan lain. Mungkin konselor berasal dari Jawa Kudus Kota budaya masyarakatnya berbeda dengan klien yang berasal dari Jawa Kudus Dawe, Undaan, dan Jekulo; demikian pula sebaliknya.
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang Jawa Kudus Kota dan Jawa Kudus Dawe, Undaan, dan Jekulo itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dapat menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling. Karena masing-masing individu merupakan representasi dari masyarakatnya. Di Kota sendiri konselor yang berhadapan dengan klien yang berasal dari etnis Cina dan Arab, yang merupakan etnis minoritas di Kota berbeda budayanya dengan konselor, bahkan sesama orang Jawa di Kota konselor dan klien pun berbeda pula budayanya.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang social budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayitno, 1994). Perbedaan-perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan-perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai-nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (individual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselor harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991 dalam Soedarmadji, 2011).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang melekat pada diri klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dengan lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien tentu membawa budayanya sendiri-sendiri. Klien yang berasal dari budaya Barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya Timur. Klien yang berbudaya Timur Jauh berbeda dengan klien yang berasal dari Asia Tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai sumber yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif di dalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lonner & Ibrahim,1991 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan membawa nilai-nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangannya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai-nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien dapat menentukan sendiri nilai-nilai yang hendak dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai-nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai-nilai atau budaya yang selama ini dikembang-kan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicarakan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai-nilai ini diterima oleh semua masyarakat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai-nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini dapat kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Kualalumpur, California, Medan, dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari adanya nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya semestinya membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1981) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pederson, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti membawa budayanya sendiri-sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup di mana dia berasal, dan klien membawa superangkat budaya yang dibawa dari lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing-masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing-masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tempat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, politik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991 sebagaimana dikutip oleh Soedarmadji, 2011).

E.  Simpulan dan Rekomendasi
Dari uraian makalah ini, penulis merumuskan simpulan-simpulan sebagai berikut:
1.      Konseling merupakan bantuan yang bersifat psikologis, sosiologis dan kultural agar orang yang dilayani menjadi lebih baik, lebih bahagia.
2.      Profesi bimbingan dan konseling yang awalnya berkembang di Amerika, kemudian berkembang di Indonesia di latar sekolah yang mengalami pasang surut berkaiatan dengan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pemerintah yang melandasi pelaksanaannya di sekolah
3.      Budaya menjadi salah satu faktor penting dalam pelayanan bimbingan dan konseling.
4.      Konselor perlu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip perbedaan budaya dalam melaksanakan hubungan profesionalnya dengan klien.
Berkaitan dengan simpulan tersebut, penulis merekomendasikan yang dirumuskan dalam butir-butir:
1.      Setiap konselor harus memahami budaya klien yang hendak dilayani melalui kajian pustaka dan on the spot
2.      Pemahaman atas budaya klien harus dilaksanakan dalam proses konseling sehingga setiap klien diperlakukan sesuai dengan kondisinya yang berbeda-beda latar budayanya.


DAFTAR PUSTAKA

Abdulkahar. 1978. Pokok-pokok Dasar Bimbingan dan Penyuluhan (Guidance & Counseling). Yogyakarta: Swadaya.
Barnadib, Imam. 1995. Meninjau Kebudayaan Nasional dan Sumbangannya Bagi Bimbingan dan Konseling. Makalah disampaikan dalam Kongres VIII dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) tanggal 14 s/d 16 Desember 1995. Surabaya : Panitia Kongres dan Konvensi Nasional X Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia

No comments:

Post a Comment