peluang

Tuesday, May 28, 2013

CERPEN

Cerita pendek – disingkat menjadi cerpen – adalah tipologi fiksi yang dalam sastra Inggris (Barat) dikenal sebagai short story. Memang dari sanalah tipologi karya sastra modern ini berasal, dan baru masuk ke khasanah sastra Indonesia pada dasawarsa 1930-an, dengan hadirnya cerpen-cerpen Muhammad Kasim dan Suman HS, lalu disusul cerpen-cerpen Hamka, Armijn Pane dan Idrus.

Penyingkatan cerita pendek menjadi cerpen pertama kali diusulkan oleh Ajip Rosyidi, dan sampai sekarang menjadi istilah yang sangat lazim dalam sastra Indonesia. Cerpen atau cerita pendek adalah fiksi atau cerita rekaan yang mengungkapkan satu masalah tunggal dengan satu ide tunggal yang disebut 'ide pusat'. Lazimnya, cerpen memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu saat, sehingga memberikan kesan tunggal terhadap konflik yang mendasari cerita tersebut.

Pada awalnya, cerita pendek hanya mengenal gaya realis dan romantis – gaya ini juga masih hidup hingga sekarang. Kemudian berkembang cerpen-cerpen simbolik dan surealis. Cerpen realis adalah cerita pendek yang mengangkat kenyataan sosial yang getir, nyaris secara apa adanya, dengan akhir yang umumnya menyedihkan (sad ending, bahkan tragis tragic ending). Cerpen romantis adalah cerita pendek yang menggambarkan tokoh cerita yang serba ideal yang dicita-citakan, serba indah, serba cantik, penuh perasaan, mendekati dongeng, dan umumnya berakhir dengan happy ending. Karena itulah, cerpen romantis sering disebut sebagai ‘dongeng kontemporer’, atau metamorfosis dongeng.

Berbeda dengan cerpen realis dan romantis, cerpen simbolik tidak menggambarkan ‘dunia rekaan’ secara realis atau natural, tapi melalui simbol-simbol. Misalnya, cerpen-cerpen sufistik Danarto, atau beberapa cerpen saya dalam kumpulan cerpen Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (Bening Publishing, Jakarta, 2004), misalnya “Luapan Cinta untuk Kampret” dan “Wangsit Pak Lurah”. Sedangkan cerpen surealis menggambarkan realitas yang jungkir balik dan melawan logika. Misalnya, cerpen Putu Wijaya yang kepalanya tertinggal di Singapura tapi tidak mati, atau cerpen Seno Gumira yang memotong cakrawala senja dan potongan itu menyala di saku bajunya.

Secara konvensional, tipologi cerpen diikat oleh prinsip-prinsip estetik, sejak teknik penuturan (narasi dan dialog), alur/plot, penokohan dan karakterisasi, konflik dan klimaks, serta penyelesaian atau ending. Prinsip-prinsip estetik itu menjadi kekuatan utama cerpen realistik dan romantik. Cerpen realistik atau romantik yang tidak mematuhi prinsip-prinsip estetik itu akan menjadi cair atau datar.

Sedangkan cerpen simbolik memiliki kekuatan yang agak berbeda, yakni pada ketepatan dan orisinalitas simbolisasinya. Begitu juga cerpen surealis, seperti karya-karya Putu Wijaya dan Seno Gumira Ajidarma, lebih mengandalkan kekuatan pada orisinalitas imajinasi surealistiknya. Meskipun tetap dibutuhkan untuk merangkai cerita, alur, plot, konflik, klimaks, dan ending, menjadi tidak terlalu penting.

Di antara keempat gaya di atas, banyak juga cerpen yang bernada satir, yakni cerpen yang ditulis untuk menimbulkan cemooh, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kebodohan manusia beserta pranatanya, dengan tujuan untuk mengoreksi penyelewengan dengan cara mengejek dan menertawai obyek cerita guna menimbulkan sikap kritis dan kemarahan terhadap penyelewengan tersebut. Beberapa cerpen sosial-keagamaan Danarto dapat dimasukkan ke dalam gaya ini. Selain bergaya realis, cerpen satir juga sering bergaya simbolik. Sebagai contoh adalah cerpen saya berjudul “Leher Pak Barjo” dan “Dasi Kampret”.

Setelah sebelumnya kita mempelajari tentang TEKNIK MENULIS CERPEN, selanjutnya setelah kita memahami tekniknya, lalu bagaimana Menggali Ide Untuk Menulis Cerpen?

Menggali Ide untuk Cerpen

Kegiatan menulis cerpen, apapun gayanya, dimulai dari adanya ide – sering juga disebut ilham. Ide adalah gagasan dasar yang menjadi sumber tematik (tema) bagi cerpen, dan mendorong sang cerpenis untuk menuliskannya dalam bentuk cerita. Tema adalah pokok pikiran yang menjadi arah pengembangan cerita. Tema, dalam cerpen, menjadi semacam benang merah yang merangkai unsur-unsur cerita, sejak alur, plot, sampai karakterisasi tokoh-tokohnya; sehingga menjadi jalinan cerita yang utuh dan memikat serta mampu menyampaikan pesan secara kuat kepada pembaca.

Alur atau plot adalah pergerakan cerita dari waktu ke waktu yang terjalin sedemikian rupa oleh konflik antartokoh yang bergerak menuju puncak krisis (klimaks) dan berakhir dengan penyelesaian (ending). Ada alur progresif (runtut), ada kilas balik (flash back), dan ada percampuran jalin-menjalin antar-keduanya. Alur dibangun oleh rangkaian sebab-akibat atau konflik antartokoh yang digambarkan melalui narasi, deskripsi, dialog, dan aksi/laku (action) para tokoh cerita. Narasi adalah pelukisan obyek yang dinamis, penggambaran gerak (action) tokoh-tokohnya, serta pergerakan benda-benda yang menjadi penyebab atau akibat aksi para tokoh cerita.

Deskripsi adalah pelukisan suasana yang relatif statis, cenderung tetap, seperti suasana kamar yang berantakan, atau bangunan yang luluh lantak pasca-gempa. Dialog adalah kata-kata yang diucapkan oleh tokoh-tokoh cerita. Ada dialog lahir (terucapkan), ada dialog batin (tidak terucapkan). Sedangkan laku/aksi adalah aktivitas fisik, gerakan anggota badan, dan perbuatan tokoh-tokoh cerita.

Alur atau plot yang liat selalu dibangun oleh rangkaian sebab-akibat yang memicu krisis dan menggerakkan cerita menuju klimaks. Ibarat tubuh, keutuhan cerpen adalah fisiknya, sedangkan plot adalah gejolak jiwa atau ‘kekuatan dinamis’ yang penuh gairah membangun konflik, mesin yang menggerakkan cerita ke arah klimaks dan ending. Di dalam plot inilah persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh cerita saling digesekkan, dibenturkan menjadi persoalan baru yang lebih kompleks, diseret ke puncak krisis, lalu dicari pemecahan (penyelesaian)-nya menuju akhir cerita (ending). Di sinilah kecerdasan dan kearifan pengarang ‘diuji’ oleh persoalan yang diciptakannya sendiri, untuk menemukan solusi yang cerdas dan arif sehingga karyanya mampu memberika sesuatu (something) kepada pembacanya.

Sedangkan penokohan atau karakterisasi adalah penciptaan tokoh-tokoh cerita yang dibutuhkan oleh tema dan plot. Contoh sederhananya: untuk tema cinta yang berakhir bahagia, misalnya, cukup dibutuhkan sepasang kekasih dan orang tua yang akhirnya merestui hubungan mereka. Tapi, untuk kisah cinta yang tragis, perlu diciptakan tokoh antagonis, yang membuat hubungan sepasang kekasih itu berakhir getir. Di sinilah diperlukan penciptaan karakter yang saling berbeda agar mereka bisa menggerakkan plot. Karakter tiap tokoh digambarkan melalui narasi, deskripsi, dan dialog. Semakin tajam perbedaan karakter antar-tokoh cerita, akan makin tajam konflik yang terjadi, dan plot akan gampang bergerak ke arah krisis untuk menuju klimaks. Plot menjadi kental, penuh ketegangan (suspense), sehingga cerita tidak bergerak datar tapi dinamis dan mampu membetot perasaan pembaca untuk menuntaskannya.

Pengembangan ide dengan teknik dan unsur-unsur cerita seperti di atas lazim dipakai pada fiksi-fiksi realistik, yang masih memperhatikan pentingnya unsur-unsur cerita secara lengkap, serta mengenal runtutan cerita (alur) sejak pemaparan, krisis, klimaks sampai ending. Kemampuan untuk mengolah tema melalui unsur-unsur dan teknik bercerita itulah yang lazim menjadi kekuatan fiksi realistik dan fiksi romantik. Namun, jenis-jenis fiksi simbolik, surealis, atau satire, sering tidak lagi memperhatikan kelengkapan unsur-unsur cerita tersebut, dan mencoba menggantikan kekuatan cerita itu dengan kekuatan lain, seperti kekuatan simbol (Danarto), terror logika (Putu Wijaya), atau keunikan imajinasi (Seno Gumira Adjidarma).



Pernah ada mitos bahwa kegiatan menulis karya sastra dimulai dari datangnya ilham atau inspirasi, yang tidak terduga, tanpa diundang, atau jatuh dari langit. Namun, seorang pengarang tidak akan produktif jika hanya bersikap pasif, hanya menunggu datangnya ilham. Seorang pengarang – jika ingin produktif -- harus aktif memburu dan menangkap ‘bung ilham’ di manapun ia berkeliaran dan bersembunyi.

Aktif berburu dan menaklukkan ilham, itulah yang dilakukan pengarang-pengarang ternama yang produktif, seperti Putu Wijaya, Emha Ainun Najid, dan Seno Gumira Ajidarma. Penyair Abdul Hadi WM pernah memberi saran kepada para pemula, ‘’menulis dan mulai menulislah, meski tidak ada ‘ilham’ di kepalamu. Ilham akan hadir atau mengalir saat engkau mencoretkan pena di atas kertasmu.’’ Dengan cara itu pula Putu Wijaya ‘memperkosa’ dirinya sendiri, memaksa diri menulis dan terus menulis.

Pengalaman hidup pengarang, penghayatan religiusitasnya, kekayaan intelektualnya, pengalaman beribadahnya, penderitaannya, kerinduannya pada sang kekasih, kesepiannya, kejengkelannya pada dunia di sekitarnya, kepekaan sosial dan politiknya, dan apa saja yang bergejolak di dalam diri sang pengarang serta reaksi batinnya terhadap berbagai fenomena di lingkungan sekitarnya, adalah lahan-lahan subur bagi lahirnya seorang bayi bernama ilham. Di lahan-lahan itulah sang ilham, inspirasi, atau ide dasar karya sastra, biasa menggeliat atau melintas. Tinggal bagaimana kecekatan sang pengarang untuk menangkap dan mengolahnya menjadi karya sastra.

Sumber ilham juga bertebaran di lingkungan sekitar pengarang, di kampus, di balaikota, di hotal, di pasar, di masjid, warung kopi, di gang-gang kumuh, di trotoar-tortoar pertokoan, di persawahan, di taman bunga, di pinggir kali, di panas terik pantai, di dalam kabut dingin pegunungan, di dalam gerbong kereta api, di dek kapal penumpang, kepadatan bus kota, dan di tengah kemacetan lalu lintas sekalipun.

Dari tebaran sumber ilham itu, yang diperlukan adalah kepekaan sang pengarang untuk menangkap isyarat-isyarat kreatif yang dilihatnya dan kemampuan imajinasinya untuk merekayasa serangkaian cerita (cerpen). Di kalangan penyair, isyarat kreatif itu biasa disebut sebagai sentuhan puitik (poetical touch), sedangkan di kalangan penulis fiksi biasa disebut sebagai sentuhan imaji (imagical touch).

Sentuhan imaji akan menggerakkan rangkaian cerita imajinatif, jika sang cerpenis ‘jatuh cinta’ atau terpanggil rasa empatinya pada apa yang dilihatnya. Ibarat orang jatuh cinta, dari mata turun ke hati, sentuhan imaji itu akan menggerakkan imajinasinya untuk membangun dunia rekaan (fiksi/cerpen) yang sering di luar dugaannya. Dan, untuk membuka ruang gerak yang lebih leluasa bagi imajinasi, sang cerpenis perlu duduk beberapa saat di dekat pemandangan unik yang memarik perhatiannya. Amatilah benda itu, imajinasikanlah bahwa benda itu memiliki cerita, sejarah, atau biografi yang unik dan menarik. Lalu, kembangkanlah cerita yang menarik dari benda itu.

Sekuntum mawar yang mekar sendiri di tengah padang rumput, misalnya, bagi cerpenis yang kreatif, bisa menghadirkan berbagai kemungkinan cerita, sejak kisah cinta yang romantik sampai yang tragis. Misalnya, pada suatu musim, mawar tiba-tiba menjadi bunga yang langka. Berhari-hari seseorang mencari mawar itu untuk menyatakan cintanya pada sang kekasih, dan ketika ia menemukan mawar itu di tepi padang rumput, dan membawanya kepada sang kekasih, ternyata ia telah meninggal tertembak polisi saat ikut berdemonstrasi. Dengan rangkaian cerita itu, fenomena alam tersebut tidak hanya diseret ke persoalan cinta yang romantik, tapi juga persoalan politik yang galau.

Melihat seorang gelandangan berkaki satu terkapar di depan toko Cina, seorang pengarang dapat saja membayangkan bahwa gelandangan itu adalah mantan pejuang revolusi kemerdekaan yang kakinya tertembak oleh serdadu Belanda. Maka, mengalirlah kisah mantan pejuang yang tersia-sia akibat ketidakbecusan pemerintah pengurus para veterannya. Melihat sebungkus nasi terinjak-injak berantakan di tengah jalan, seorang pengarang dapat juga mengimajinasikan bahwa nasi itu sebenarnya akan dikirim kepada seorang demonstran penderita sakit mag yang kelaparan dan terkurung di tengah barikade tentara, tapi ketika nasi itu sampai sang demonstran keburu ‘diamankan’ dan nasi itu tertinggal dan terinjak-injak oleh sepatu tentara.

Rekaan cerita yang menarik pun dapat dibangun ketika seorang cerpenis melihat rumah tua yang sepi dan terpisah dari kampung, rangkaian bunga yang tercampak di tepi jalan, celana panjang robek-robek yang dikibarkan pada tiang bendera, pemuda yang merenung sendiri di tepi rel kereta api, wanita cantik yang berdiri mematung sendiri di buritan kapal (ingat adegan film Titanic atau cerpen “Maukah Kau Hapus Bekas Bibirnya dengan Bibirmu” karya Hamsad Rangkuti), atau seorang Muslimah yang tiba-tiba mengganti jilbabnya dengan rambut pirang.

Dari pemandangan apapun, bahkan dari benda macam apapun, sejak dari fenomena alam sampai fenomena sosial-politik, dapat direkayasa kisah-kisah yang menarik dan bermakna bagi pembaca. Semua itu, tentu juga kehidupan itu sendiri, adalah sumber ilham yang tiada habis-habisnya untuk digali. Dari sanalah, berbagai kemungkinan cerita (storical alternation) dapat hadir dan dikembangkan menjadi suatu karya sastra yang bermakna. Namun, tentu, bahan cerita yang paling otentik adalah ‘biografi’ benda atau kisah nyata obyek cerita itu sendiri, yang dapat diperoleh sang cerpenis dengan mewawancarainya. Teknik observasi untuk memperoleh bahan cerita seperti ini tidak hanya dapat diperoleh dari pemandangan aneh di tepi jalan, tapi juga dari orang-orang di sekitar sang cerpenis. Sehingga, sang cerpenis tinggal mengubah bahan cerita itu menjadi fiksi.

Tentu, agar kisah-kisah fiktif (cerpen) itu menjadi lebih bermakna, perlu diberi sentuhan filsafat, moral, agama, atau ajaran-ajaran kibajikan lainnya. Agar sentuhan itu dapat hadir sebagai pencerah sekaligus pemerkaya batin pembaca, sang pengarang pun harus banyak membaca. Ia harus menjadi cendekiawan yang terus meneteskan kearifan, kebijakan dan makna hidup bagi pembacanya. Karya sastra yang baik, menurut Sutardji Calzoum Bachri, adalah yang memberikan sesuatu (something) kepada pembacanya. Sesuatu it adalah ‘kearifan hidup yang teraktualisasikan’ yang mebuat pembaca sulit melupakannya, karena kesannya yang begitu mendapalam. Dan, agar kisah-kisah fiktif itu menarik, pengarang perlu menguasai teknik-teknik bercerita secara baik, seperti alur, karakterisasi dan plotting.

Satu hal yang harus disadari oleh pengarang fiksi (cerpen) adalah bahwa dunia di dalam fiksi adalah dunia rekaan. Memang bisa saja karya sastra diangkat dari kisah nyata, dari peristiwa sejarah, dari hasil penelitian, bahkan dari hasil kerja jurlialistik, seperti cerpen-cerpen jurnalistiknya Seno Gumira Ajidarma. Tetepi, seorang penulis fiksi tidak terikat oleh realitas faktual itu. Ia bebas menciptakan dunia rekaannya sendiri dari realitas keseharian yang ditemukannya. Seperti dikatakan Umar Junus dalam Dari Peristiwa ke Imajinasi, realitas yang ada di dalam karya sastra adalah realitas imajinatif, realitas yang sudah mengalami rekayasa ulang menjadi ‘realitas baru’ khas pengarang.

Jika bagi seorang wartawan yang dibutuhkan adalah kecermatannya dalam mencatat serta merekonstruksi realitas faktual ke dalam tulisannya, maka bagi seorang cerpenis (juga novelis) yang diperlukan justru kekuatan dan kebebasan imajinasinya untuk mengembara secara liar ke berbagai kemungkinan di balik realitas faktual itu. Peraih Nobel Sastra, Tonni Morrison, pernah menasihatkan, bebaskanlah imajinasimu mengembara secara liar ke dalam ‘dunia gelap’ di balik realitas yang kasat mata.

Kerangka Cerita Kadang Perlu

Bagi penulis cerpen yang benar-benar sudah mahir, atau memiliki bakat menulis yang besar, kerangka cerita tidak pernah dianggap penting. Pertama, kerangka cerita sudah terbangun dengan sendirinya di dalam ruang imajinasi (kepala)-nya ketika ia mendapatkan ilham atau menerima sentuhan imaji. Dan, kedua, alur dan plot cerita dibiarkannya berkembang sendiri ketika ia menuliskan kisah tersebut sampai ending. Kerangka cerita justru sering dianggap membatasi keliaran dan kebebasan imajinasinya dalam mengembangkan cerita.

Tetapi, bagi penulis pemula (yang sedang belajar) atau yang kemahirannya pas-pasan, kerangka cerita sering berperan sangat penting. Pertama, kerangka cerita dapat memandu cerpenis ke arah mana cerita akan dikembangkan sampai ending, lengkap dengan arah alur, konflik, plot, penokohan dan karakterisasinya, serta bagaimana suspense (ketegangan) harus dibangun untuk memikat pembaca. Kedua, kerangka cerita dapat meminimalisir kemungkinan kemacetan ketika cerpenis menuliskan dan mengembangkan ceritanya. Dan, ketiga, kerangka cerita dapat membantu memberikan gambaran awal di mana saja cerpenis dapat menyisipkan pesan-pesan cerita.

Dari aspek materinya, kerangka cerita nyaris tidak berbeda dengan sinopsis (ringkasan cerita dari cerpen/novel yang telah jadi), juga tidak berbeda dengan ide dasar cerita (bahan baku cerita untuk dikembangkan jadi cerpen/novel yang sempurna). Hanya, lazimnya, kerangka cerita diberi nomor-nomor yang menggambarkan alur cerita. Dengan materi yang sama dan sistem penulisan yang berbeda, yakni dengan menghilangkan numerisasinya, kedua kerangka cerita di atas dapat diubah menjadi mirip sinopsis cerita atau ringkasan cerita. Sedangkan dengan mempersingkatnya lagi, kedua kerangka cerita tersebut juga dapat diubah menjadi ide dasar cerita atau ide cerita. Untuk kerangka cerita “Ombak Berdansa di Liquisa”, misalnya, ide ceritanya adalah “seorang aktifis Clandestine yang membelot ke Indonesia karena dikhianati oleh tunangannya”. Sedangkan temanya adalah “pengkhianatan yang berbuah pengkhianatan” atau “barangsiapa berkhianat akan memetik pengkhianatan juga”.

Contoh-contoh di atas adalah kerangka yang dikembangkan dari ide cerita. Dapat juga kerangka cerita ataupun cerpen dikembangkan dari tema. Artinya, tema cerita ditentukan dulu, lalu dibuatkan kerangka atau rangkaian ceritanya. Ini seperti kalau kita mengikuti lomba penulisan cerpen dengan tema yang telah ditentukan. Sedangkan cerpen yang didasarkan pada ide cerita, temanya akan terumuskan dengan sendirinya bersamaan dengan pengembangan ide cerita itu menjadi cerpen.

Tema adalah nilai-nilai positif yang akan direaktualisasikan oleh sang pengarang melalui cerpen untuk disampaikan kepada pembacanya. Tiap tema akan membuka lebih banyak kemungkinan cerita yang berbeda. Misalnya, tema “Cinta sejati akan membuahkan kebahagiaan” atau “kebaikan akan selalu dapat mengalahkan keburukan”, dapat dikembangkan menjadi banyak versi cerita, tergantung kemampuan imajinasi masing-masing cerpenis.

Dalam teori konvensional, terutama pada cerpen romantis dan realistis, alur atau plot cerpen selalu dimulai dari paparan, disusul konflik, memuncak pada klimaks, dan diakhiri dengan ending. Alur yang bersifat progresif taat pada urutan pengisahan – yang disebut struktur plot -- seperti itu.

Paparan, adalah penggambaran situasi ketika cerita mulai bergulir, baik situasi personal tokoh utama cerita maupun situasi kolektif yang melibatkan beberapa tokoh sekaligus. Paparan biasanya disertai dengan sedikit gambaran latar cerita – tempat cerita berlangsung dan dalam situasi seperti apa. Bisa situasi dalam keluarga, sosial, politik, atau ekonomi.

Konflik, adalah gambaran ketika mulai terjadi krisis dan para tokoh cerita mulai terlibat dalam perbedaan pendapat, kepentingan, dan tujuan. Para tokoh mulai saling bergesekan dan berkonflik. Perbedaan karakter tokoh akan membuat konflik makin menajam dan mencekam. Konflik bisa saja terjadi secara tersembunyi dalam diri tokoh cerita (konflik batin) atau secara terbuka antar-tokoh cerita (konflik terbuka).

Klimaks, adalah ketika konflik mencapai puncaknya dan membutuhkan penyelesaian.

Ending, adalah akhir dari cerita yang berfungsi menyelesaikan konflik sehingga cerita bisa ditutup. Dalam cerpen-cerpen konvensional, penulis biasanya mengakhiri ending secara jelas, dengan solusi persoalan yang tegas, dan bahkan sering dengan menghakimi tokoh-tokoh cerita. Misalnya, tokoh yang jahat digambarkan bernasib celaka. Atau nasib tokohnya berakhir tragis. Ada dua macam ending yang umum dipakai dalam cerpen romantis dan realis, yakni happy ending dan sad ending.

Pada era cerpen kontemporen, banyak cerpen yang ending-nya menggantung dan penyelesaian masalah atau penghakiman terhadap tokoh cerita diserahkan kepada pembaca. Begitu juga cara memulai cerita, tidak selalu dari pemaparan, tapi sering juga langsung ke konflik, bahkan klimaks, atau ending dulu; baru kemudian pengarang melakukan kilas balik sambil menyisipkan latar cerita.

Selain alur/plot, serta unsur-unsur perangkai cerita (paparan, krisis, klimaks, dan ending), ada yang disebut unsur-unsur pembangun cerita atau yang juga disebut teknik bertutur, yakni narasi (penggambaran objek yang bergerak), deskripsi (penggambaran objek atau siatuasi yang relatif diam), dan dialog. Penulis cerpen biasanya memanfaatkan ketiga teknik itu secara bergantian untuk membangun ceritanya.

Selain itu, dalam penggarapan cerpen, ada yang disebut penokohan atau karakterisasi. Penokohan adalah penentuan jumlah tokoh dan identitas serta sifat-sifatnya sesuai yang dibutuhkan oleh cerita (cerpen). Ada yang tokoh protagonis ada tokoh antagonis.

Dalam cerpen konvensional, tokoh protagonis adalah tokoh utama yang biasanya digambarkan serba baik, heroik, dsb. Sedangkan tokoh antagonis adalah penantang tokoh utama, biasanya digambarkan serba jelek, jahat, licik, dan menyebalkan. Namun, dalam cerpen kontemporer, bisa juga tokoh utamanya tidak sempurna, sementara tokoh lawannya malah memberi hikmah atau menyempurnakannya. Adanya tokoh protagonis dan antagonis membuat konflik jadi tajam dan mencekam. Di luar keduanya, adalah tokoh pembantu dan figuran.


Akhir kata, kegiatan yang paling menentukan keberhasilan seorang cerpenis pada akhirnya adalah menulis dan menulis itu sendiri. Boleh saja seseorang mengumpulkan ratusan ide cerita, tapi kalau tidak pernah dituliskan tidak akan pernah satupun menjadi cerpen. Boleh saja seseorang membaca puluhan buku tentang menulis cerpen, tapi kalau tidak pernah berani menulis cerpen ia tidak akan pernah bisa menulis cerpen. Ibarat berenang, satu-satunya jalan untuk dapat berenang adalah mencebur ke air dan berenang. Mari kita coba!

Read more: .rumpunnektar.

No comments:

Post a Comment