peluang

Wednesday, May 29, 2013

Membaca Perempuan dalam Perspektif Gender



Membaca Perempuan dalam Perspektif Gender

Oleh Zoya Herawati (Sinar Harapan, 12 Agustus 2011)

BERAWAL dari rasa rendah diri berlebihan tokoh “aku” pada novel ini mencoba mencari jati diri menghadapi setiap persoalan yang dihadapi.

Aku seorang perempuan dan tak pernah dicuri oleh perampok paling brengsek sekalipun (hal 13). Tokoh seperti ini jelas korban patriarkhi. Tokoh yang dikuasai ras tertentu sehingga berdampak pada perasaan minder luar biasa (hal 18).

Menandai kebangkitan perempuan dengan kesadaran terhadap perspektif gender, diciptakanlah tokoh-tokoh perempuan perkasa dalam novel-novel atau legenda-legenda yang sadar diri akan perannya di ranah publik.

Masih tentang budaya patriarkhi, novel ini berangkat dari ketidakberdayaan perempuan yang kemudian mengilhami pengarang tentang pemberontakan perempuan terhadap budaya dan adat-istiadat yang mengungkung/membungkam hak dan kebebasan mereka.

Hal ini lazim terjadi pada masyarakat yang terbelakang cara berpikirnya disebabkan beberapa pengaruh tradisi atau kebiasaan, keyakinan atau tafsir agama, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Tokoh-tokoh dalam novel ini dalam balutan persoalan kemiskinan, penderitaan, keterasingan sebuah dinasti keluarga Mak Kaji Idayu Kiyati. Kisah dalam novel ini dipenuhi detail jalan hidup mereka yang harus ditempuh dalam menggempur budaya patriarkhi.

Kisah tentang Lastri Srigati yang mewarisi keterasingan ibunya dan dipaksa kawin dengan Matjain—pria pemuja leluhurnya yang keturunan Sunan Bonang dan jatuh cinta pada klenik, juga tentang arus jalan anak turunnya menuju alam cita di luar ruang dan waktu guna melintasi penderitaan dengan jalan keindahan tanha:

Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah. Tokoh-tokoh dalam novel ini adalah perempuan-perempuan liberal, yang digambarkan sadar, bahwa secara struktur dan transformasi sosial berjalan dengan tidak adil.

Pada halaman 17 terlihat jelas pengarang ingin menggambarkan betapa tokoh perempuan dalam novel ini penganut paham feminisme radikal yang menjelma dalam roh Calon Arang, tokoh perempuan tukang teluh yang hidup pada zaman raja-raja Kediri.

Calon Arang sering disebut Rangda Nateng Girah yang artinya adalah penguasa Desa Girah. Ia sangat sakti dengan ilmu teluhnya, diceritakan putrinya cantik jelita Ratna Mangali, tak kunjung dilamar pemuda karenanya.

Paham feminis Marxist dan feminis sosialis juga sarat digambarkan dalam tokoh-tokoh yang mengambil “aku” sebagai peran sentral. Style penulisan seperti ini jika pembaca tidak jeli, akan muncul persepsi bahwa cerita dibangun tanpa plot. Gaya linier seperti ini memang agak sulit diikuti, karena setiap plot mewakili setiap tokoh yang dihadirkan yang seakan-akan tidak berkaitan.

Menjangkau dimensi di balik sebuah novel memerlukan ketelitian yang serius, sebab novel TANHA, Kekasih yang Terlupa ini meski digarap dengan serius, tetapi pengarang kadang kelepasan. Artinya, pengarang bisa nyelonong begitu saja dan hadir di sembarang rangkaian cerita, sehingga sedikit mengganggu, seperti pada halaman 25.

Mendadak pengarang bisa kembali ke dunia realitas. Apakah dimaksudkan ingin berbaur dengan realitas? Apa pun hal ini tampaknya bisa merusak sebagian bingkai cerita, yang semestinya bisa disampaikan pada sebuah catatan kaki atau cara lainnya.

Semisal hadirnya sahabat seorang tokohnya bernama Agus Sunyoto (pengarang) pada halaman 25. Tokoh “Tuan” mewakili kehadiran pengarang, meski bukan dalam bentuk pemikiran, tetapi dalam wujud nyata, persahabatan dengan pengarang tersebut.

Selain itu, munculnya nama penyair Subagio Sastrowardoyo pada halaman 73. Hal ini menunjukkan pengarang belum bisa menarik jarak dengan tokoh yang diciptakannya. Ini kelemahan yang sering dijumpai pada sebagian pengarang.

Bingkai Feminisme

Novel TANHA, Kekasih yang Terlupa merupakan gugatan perempuan terhadap takdir sekaligus jalan hidup yang mengekang keberadaan mereka dalam dunia. Melalui feminisme liberalis, radikalis, sosialis, tokoh-tokoh dalam TANHA mencoba hadir dengan mengobrak-abrik nilai-nilai yang sudah ada.

Feminisme liberal menekankan pada rasionalitas kebebasan dan equality, kesamaan harkat. Feminisme radikal yang kemunculannya sebagai reaksi atas seksisme di Barat dan menguatkan postulat penindasan perempuan berakar pada kaum lelaki.

Feminisme Marxist, menolak gagasan biologis sebagai dasar pembedaan gender/penindasan kelas dalam relasi produksi womens question selalu diletakkan pada kerangka kritik pada kapitalisme. Adapun sintesa antara metode historis materialistis Marx dan Engel melahirkan feminisme sosialis, yang kemudian terkenal dengan slogan the personal is political.

Analisis sosial yang dihadirkan pengarang pada novel ini memang rinci, tetapi realitas itu biasanya lebih kompleks daripada gambaran yang disajikan dalam proses analitis, tetapi di sinilah keunikan sebuah novel, yang menyajikan apa yang sudah dan belum tersaji.

Dengan menyingkap dan memperjelas nilai-nilai pada setting lokasi, pengarang mencoba menghadirkan tokoh-tokoh perempuan dengan segala permasalahan yang menjadi beban mereka.

Sehingga terciptalah konflik. Tentunya dengan berbagai perspektif, praduga dan pendirian-pendirian sang pengarang. Tentu saja tidak ada analisis sosial yang bebas nilai. “Aku ingin diriku sendirilah yang menjadi kitab” (hal 31).

Keseharian orang-orang yang mempersetankan agama dengan segala aturannya cenderung menjadi naif, karena pada saat yang sama mereka adalah pemuja alam semesta dengan segala konsekuensinya.

Logika yang coba dibangun dalam karakter tokoh-tokoh sering kali menyajikan kontroversi pemahaman. Pada saat bersamaan seorang ateis sekaligus menjadi animis sejati karena mereka mempercayai roh-roh dan dukun-dukun (hal 33). Hal ini digambarkan dengan tepat oleh pengarang.

Membaca TANHA perlu keseriusan untuk bisa mengupas di balik simbol-simbol yang dihadirkan. (*)

Penulis adalah peminat sastra, tinggal di Surabaya, salah satu pemenang sayembara novel DKJ tahun 1998.

 .

No comments:

Post a Comment